Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Para Analis Pangkas Proyeksi Harga Minyak Dunia

Sejumlah analis telah memangkas perkiraan mereka terhadap harga minyak mentah global.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah analis telah memangkas perkiraan mereka terhadap harga minyak mentah global, ke level terendah dalam lebih dari 16 bulan.

Hal itu dilakukan menyusul pelemahan permintaan global karena perlambatan ekonomi membayangi dan ketidakpastian terjadi pada perdagangan Amerika Serikat dan China.

Sebuah jajak pendapat Reuters menunjukkan hal tersebut pada Jumat (30/8/2019).

Survei terhadap 51 ekonom dan analis memperkirakan, harga minyak mentah Brent akan berada pada level US$65,02 per barel pada 2019, turun sekitar 4% dari proyeksi bulan sebelumnya US$67,47, dan dibandingkan dengan rata-rata US$65,08 untuk patokan global sejauh tahun ini.

Hal ini juga merupakan perkiraan rata-rata terendah 2019 untuk Brent sejak Maret 2018.

Sementara, proyeksi 2019 untuk harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate dipangkas ke level terendah sejak Januari 2018, yaitu US$57,90 per barel, di bawah perkiraan US$59,29 bulan lalu. Adapun WTI memiliki rata-rata US$57,13 tahun ini.

"Perselisihan perdagangan AS dan China yang sedang berlangsung dan memunculkan risiko perlambatan ekonomi akan menjadi faktor kunci yang mempengaruhi harga untuk sisa tahun ini dan pada 2020," kata analis ANZ Soni Kumari.

Menurutnya, konflik perdagangan yang berlarut-larut dapat memperdalam perlambatan ekonomi dan berdampak pada pertumbuhan permintaan.

Perselisihan perdagangan antara dua ekonomi teratas dunia telah menjadi faktor utama di balik penurunan sekitar 20% harga minyak dari tertinggi 2019 yang dicapai pada bulan April, dengan Beijing mengumumkan tarif impor minyak mentah AS minggu lalu.

Penurunan harga telah mengurangi dampak pemangkasan produksi yang dipimpin oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak. Beberapa analis mengatakan kelompok itu dapat memperpanjang pembatasan di luar 2020.

Sementara itu, permintaan global diperkirakan akan tumbuh sebesar 0,9 - 1,3 juta barel per hari pada 2019, dibandingkan dengan proyeksi Juli 0,1 – 1,4 juta barel per hari.

US Energy Information Administration, Badan Energi Internasional, dan OPEC menurunkan perkiraan pertumbuhan permintaan 2019 mereka pada Agustus.

Norbert Ruecker, kepala ekonomi dan penelitian di bank Swiss Julius Baer mengatakan, kebijakan moneter yang agresif mengakhiri penurunan dan memperpanjang siklus ekonomi.

"Namun, tingkat pertumbuhan tahun depan diperkirakan terlalu loyo untuk mengangkat permintaan minyak secara berarti," ujar Baer.

Minyak bisa mendapatkan dukungan terbatas dari ketegangan di Timur Tengah, sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela, dan pertumbuhan yang lebih lambat dari yang diharapkan dalam output AS, bahkan dengan jaringan pipa baru dari cekungan Permian AS yang mengurangi hambatan pasokan.

"Meskipun kami memperkirakan ketegangan perdagangan antara AS dan China akan meningkat, dan pertumbuhan global melambat, kami pikir pasar minyak mungkin bereaksi berlebihan terhadap berita buruk tentang permintaan, dan tampaknya telah kehilangan fokus pada latar belakang pasokan yang terbatas," kata Oliver Allen, ekonom di Capital Economics.

Selain itu, harga minyak mentah bisa mendapatkan dorongan satu kali dari aturan Organisasi Maritim Internasional yang berlaku tahun depan yang akan melarang kapal menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur di atas 0,5 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dika Irawan
Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper