Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Yuan Melemah 11 Hari Perdagangan Berturut-turut

Berdasarkan data Bloomberg, pada awal perdagangan Kamis (29/8/2019), yuan melemah meskipun terdapat upaya oleh Bank Sentral China untuk menstabilkan mata uang melalui penetapan harian.
Uang kertas dolar AS yang menampilkan pendiri negara Amerika Benjamin Franklin dan uang kertas yuan China yang menampilkan mendiang pendiri Republik Rakyat China Mao Zedong terlihat di antara bendera AS dan China dalam gambar ilustrasi yang diambil 20 Mei 2019. /REUTERS - Jason Lee.
Uang kertas dolar AS yang menampilkan pendiri negara Amerika Benjamin Franklin dan uang kertas yuan China yang menampilkan mendiang pendiri Republik Rakyat China Mao Zedong terlihat di antara bendera AS dan China dalam gambar ilustrasi yang diambil 20 Mei 2019. /REUTERS - Jason Lee.

Bisnis.com, JAKARTA - Yuan melanjutkan pelemahannya dalam 11 perdagangan berturut-turut dan menjadi penurunan terpanjang melawan dolar AS menurut Sistem Perdagangan Valuta Asing China.

Berdasarkan data Bloomberg, pada awal perdagangan Kamis (29/8/2019), yuan melemah meskipun terdapat upaya oleh Bank Sentral China untuk menstabilkan mata uang melalui penetapan harian.

Namun, pada pukul 15.40 WIB, yuan renminbi bergerak cenderung menguat 0,17% menjadi 7,1503 yuan per dolar AS, sedangkan yuan offshore bergerak menguat 0,24% menjadi 7,1522 yuan per dolar AS.

Mata uang Negeri Tirai Bambu tersebut berfluktuasi singkat, setelah bank sentral menetapkan nilai referensi hariannya pada tingkat yang lebih kuat dari yang diperkirakan untuk 7 perdagangan berturut-turut, menjadi tanda bahwa Bank Sentral China sesungguhnya tidak nyaman dengan penurunan yuan.

Kepala Strategi FX Asia Mizuho Bank Ltd Ken Cheung mengatakan bahwa penguatan yuan onshore yang stabil mencerminkan sinyal kebijakan PBOC yang lebih kuat untuk menstabilkan mata uangnya.

“Namun, tampaknya mereka tidak cukup kuat mengingat sentimen yuan yang berlaku saat ini berasal dari kebuntuan negosiasi perdagangan antara China dan AS sehingga hubungan kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut kembali panas,” ujar Ken seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (29/8/2019).

Sentimen bearish berlaku setelah China dan AS saling bertukar ancaman kenaikan tarif impor sehingga mendorong yuan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia sejak Mei. Yuan telah anjlok 3,73 % sepanjang Agustus, dan menjadi penurunan bulanan terbesar sejak Januari 1994. Adapun, sepanjang tahun berjalan 2019, yuan telah bergerak melemah 4,2%.

Selain itu, perlambatan ekonomi China juga telah melemahkan kepercayaan investor terhadap yuan.

Ken mengatakan bahwa mengingat bahwa risiko perang dagang tidak berkurang, PBOC mungkin harus mempertimbangkan untuk menggunakan intervensi verbal atau mata uang lainnya untuk memperjelas tingkat toleransinya terhadap pelemahan yuan.

Jika tidak, lanjutnya, yuan tampak akan terus meluncur ke bawah yang bisa memicu adanya ancaman perang mata uang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Ana Noviani

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper