Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Dagang AS vs China: Yen Jepang Diburu, Yuan Ambrol

Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali meresahkan. Investor berbondong-bondong menghindari aset berisiko dan memburu aset-aset safe haven, seperti yen Jepang, di tengah meredupnya prospek ekonomi global.
Uang kertas dolar AS yang menampilkan pendiri negara Amerika Benjamin Franklin dan uang kertas yuan China yang menampilkan mendiang pendiri Republik Rakyat China Mao Zedong terlihat di antara bendera AS dan China dalam gambar ilustrasi yang diambil 20 Mei 2019. /REUTERS - Jason Lee.
Uang kertas dolar AS yang menampilkan pendiri negara Amerika Benjamin Franklin dan uang kertas yuan China yang menampilkan mendiang pendiri Republik Rakyat China Mao Zedong terlihat di antara bendera AS dan China dalam gambar ilustrasi yang diambil 20 Mei 2019. /REUTERS - Jason Lee.

Bisnis.com, JAKARTA – Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali meresahkan. Investor berbondong-bondong menghindari aset berisiko dan memburu aset-aset safe haven, seperti yen Jepang, di tengah meredupnya prospek ekonomi global.

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar yen terpantau lanjut menguat 0,15 persen atau 0,16 poin ke level 105,23 per dolar AS pada perdagangan pagi ini, Senin (26/8/2019) pukul 08.44 WIB.

Yen bahkan sempat melonjak ke level 104,96 pada pembukaan perdagangan, setelah berakhir naik tajam 1 persen atau 1,06 poin di posisi 105,39 pada perdagangan Jumat (23/8/2019).

Di sisi lain, nilai tukar yuan offshore China terpantau lanjut melemah 0,45 persen ke level 7,1639 pagi ini setelah ditutup melemah 0,59 persen di posisi 7,1315 pada perdagangan terakhir pekan lalu (Jumat, 23/8).

Dilansir dari Reruters, nilai tukar yuan terbebani oleh ekspektasi perlambatan yang lebih dalam di China di tengah memanasnya perang dagang antara dua negara berekonomi terbesar di dunia tersebut.

Pemerintah AS dan China melanjutkan aksi saling balas tarif impor dengan sejumlah rencana penaikan tarif dan pemberlakuan tarif impor baru hingga akhir 2019. Akhir pekan kemarin, AS menjatuhkan tarif impor baru sebesar 5 persen atas produk senilai US$550 miliar dari China.
 
Kebijakan itu disampaikan Presiden AS Donald Trump hanya beberapa jam setelah Beijing mengumumkan tarif impor atas barang-barang dari AS senilai US$75 miliar, Jumat (23/8/2019).

Trump menyatakan AS juga akan menaikkan tarif eksisting atas produk China senilai US$250 miliar dari 25 persen menjadi 30 persen per 1 Oktober 2019.
 
Selain itu, Trump mengatakan AS akan menaikkan besaran tarif yang sudah direncanakan atas produk China senilai US$300 miliar menjadi 15 persen dari sebelumnya 10 persen. Washington bakal mulai memberlakukan tarif baru mulai 1 September 2019. Namun, sebagian produk yang diincar baru akan dikenakan tarif pada 15 Desember 2019.

Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) China mengemukakan bahwa pada 1 September dan 15 Desember 2019, bakal memberlakukan tarif tambahan sebesar 5 persen atau 10 persen atas 5.078 produk dari Negeri Paman Sam. Beberapa produk yang termasuk di dalamnya adalah kacang kedelai, daging sapi dan babi, serta pesawat kecil.
 
Tarif impor juga kembali diterapkan atas mobil dan komponen suku cadang kendaraan dari AS, yang sempat dihentikan sementara pada Desember 2018 ketika negosiasi dagang antara kedua negara menunjukkan tanda-tanda positif.

Di tengah ketegangan terbaru ini, pasar keuangan dapat bergerak volatil dalam waktu dekat karena investor cenderung mengalihkan uang dari saham ke aset yang kurang berisiko, seperti obligasi, emas, dan mata uang safe-haven.

“Spekulan datang ke pasar untuk memberikan tekanan besar atas pergerakan yen dan dolar AS,” ujar Yukio Ishizuki, ahli strategi valuta asing di Daiwa Securities di Tokyo.

"Fakta bahwa yuan offshore melemah sebanyak ini menunjukkan spekulan menjadi sedikit liar. Perang perdagangan mendorong semua gerakan ini, dan saya tidak melihat ini berakhir dalam waktu dekat,” lanjutnya, seperti dilansir dari Reuters.

Yen, tambah Ishizuki, selanjutnya akan menargetkan level 104,10 per dolar AS, level tertinggi yang dicapainya selama periode crash pada 3 Januari yang menggoyang pasar keuangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper