Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Dagang Memanas, Investor Saham Disarankan Lebih Selektif

Investor disarankan untuk berhati-hati dengan saham berbasis komoditas dan energi, seperti tambang, CPO, serta energi yang menyebabkan polusi.
Karyawan duduk di depan monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (22/11)./JIBI-Abdullah Azzam
Karyawan duduk di depan monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (22/11)./JIBI-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA—Bahana TCW Investment Management menyarankan investor yang berinvestasi di pasar modal untuk lebih selektif dalam memilih saham. Di tengah kondisi ketidakpastian perang dagang saat ini, saham sektor tambang dan komoditas tidak disarankan.

Budi Hikmat, Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management, menjelaskan bahwa meningkatnya eskalasi perang dagang AS—China telah membuat tidak ada alternatif bagi investor saham saat ini.

“Berbeda dengan siklus penurunan bunga sebelumnya, saat ini adalah istilah TINA (there is no alternative). Di masa lalu, penurunan suku bunga memacu pertumbuhan laba sektor properti dan otomotif,” jelas Budi Hikmat dalam keterangan tertulis, Rabu (7/8/2019).

Budi berpendapat dua sektor tersebut saat ini menghadapi tantangan penurunan daya beli seiring dengan pelemahan harga komoditas primer yang menjadi andalan ekspor Indonesia.

Alhasil, investor sekarang lebih banyak yang melirik saham sektor perbankan kendati valuasi sudah mahal.

Sektor perbankan diyakini bakal dapat manfaat dari pelebaran margin keuntungan setelah suku bunga deposito diturunkan, sedangkan bunga kredit relatif tetap.

Budi mengingatkan supaya investor berhati-hati dengan saham berbasis komoditas dan energi, seperti tambang, CPO, serta energi yang menyebabkan polusi.

Pasalnya, dalam perang dagang, Pemerintah China dinilai akan memilih energi yang lebih ramah lingkungan dengan memanfaatkan booming shale-gas dari Amerika Serikat. Hal itu berisiko menurunkan permintaan impor batu-bara dari Indonesia.

Adapun dalam perang dagang, Indonesia masih belum dapat kebagian untung, seperti Vietnam, Korea Selatan, dan Taiwan.

Pada Mei 2018, surplus perdagangan Indonesia ke AS justru turun 12,2% menjadi US$5,1 miliar sementara surplus perdagangan Vietman ke AS melonjak 42,6% menjadi US$21,6 miliar.

Pada periode yang sama, surplus perdagangan China ke AS telah turun 10%, menjadi US$137 miliar.

“Indonesia memiliki banyak tantangan dalam upaya mengendalikan defisit neraca berjalan dan bersaing dengan negara tetangga, seperti Vietnam. Investor nampaknya menanti susunan kabinet pemerintah yang baru yang diharapkan lebih efektif meningkatkan investasi asing masuk ke Indonesia,” tutur Budi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Nicken Tari
Editor : Ana Noviani
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper