Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

3 Hari Menghijau, Harga CPO Terancam Memerah

Perkembangan terbaru isu biodiesel dan Uni Eropa (UE) mengancam harga CPO di pasar global.
Petani memindahkan kelapa sawit hasil panen ke atas truk di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/4/2018)./JIBI-Rachman
Petani memindahkan kelapa sawit hasil panen ke atas truk di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/4/2018)./JIBI-Rachman

Bisnis.com, JAKARTA – Sempat menghijau selama tiga hari, harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) terancam melemah pada Kamis (25/7/2019).

Data Bloomberg menunjukkan hingga pukul 13.39 WIB, harga CPO kontrak pengiriman Oktober 2019 di Bursa Derivatif Malaysia turun tipis 0,05 persen atau 1,00 poin ke posisi 2.028 ringgit per ton. Padahal, di sesi pembukaan, harganya sempat menguat 0,34 persen atau 7,00 poin ke posisi 2.036 ringgit per ton.

Pada Senin (22/7), harga CPO juga telah menguat 0,61 persen atau 12,00 poin di level 1.984 ringgit per ton dibandingkan dengan penutupan Jumat (19/7) yang berada di level 1.972 ringgit per ton.

Penguatan pun berlanjut pada dua hari berikutnya, yang menempatkan harga CPO masing-masing di level 2.004 ringit per ton dan 2.029 ringgit per ton, level tertinggi sejak 21 Juni 2019.

Namun, kabar terbaru dari Uni Eropa (UE) sepertinya bakal mengusik pelaku pasar sawit global. Dilansir dari Reuters, Kamis (25/7), Komisi Eropa berencana untuk mengajukan bea impor dari 8 persen hingga 18 persen untuk impor biodiesel dari Indonesia.

Hal tersebut menjadi pukulan ganda bagi biodiesel Tanah Air, setelah pada Maret 2019, UE memutuskan bahwa minyak kelapa sawit tidak lagi dianggap ramah lingkungan sehingga harus dihapuskan dari bahan bakar transportasi terbarukan.

Komisi tersebut, yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan untuk 28 anggota UE, telah meluncurkan penyelidikan anti subsidi pada Desember 2018 menyusul keluhan Dewan Biodiesel Eropa. Eksekutif UE menyatakan terdapat bukti bahwa produsen sawit di Indonesia menerima manfaat dari subsidi dalam bentuk pembiayaan ekspor, keringanan pajak, dan penyediaan minyak kelapa sawit, bahan baku utama dengan harga rendah yang dibuat-buat.

Menurut dokumen yang diberikan kepada pihak yang berkepentingan, tarif bea masuk yang diusulkan adalah 8 persen untuk Ciliandra Perkasa, 15,7 persen untuk Wilmar Group, 16,3 persen untuk Musim Mas Group, dan 18 persen untuk Permata Group. 

Langkah-langkah ini akan bersifat sementara, sambil menunggu kesimpulan dari penyelidikan UE dan diberlakukan pada 6 September 2019.

Adapun Dewan Biodiesel Eropa (EBB) Kristell Guizouarn menuturkan ini adalah hal yang sangat baik bagi industri biodiesel di Eropa untuk mendapatkan kembali persaingan yang adil dan pasar seperti yang terjadi dengan Argentina.

"Sah untuk memiliki tugas sementara karena ada subsidi untuk biodiesel Indonesia,” ucapnya.

UE mulai mencari biodiesel dari Argentina dan Indonesia pada 2012 dan memberlakukan anti dumping pada perusahaan-perusahaan dari kedua produsen utama itu pada 2013. Namun, kedua Argentina dan Indonesia kemudian memenangkan sengketa di Pengadilan Eropa dan WTO.

Sementara itu, pergerakan positif harga sawit beberapa hari belakangan dipengaruhi oleh penguatan di komoditas kompetitor CPO, yaitu minyak kedelai. Kedua minyak tersebut berkompetisi di pasar minyak nabati dunia, sehingga kenaikan dan penurunan harga minyak kedelai tak jarang mempengaruhi harga CPO.

"Harga minyak kelapa sawit naik lebih tinggi karena adanya kenaikan berkelanjutan dalam minyak nabati yang bersaing," kata seorang trader yang berbasis di Kuala Lumpur.

Hingga hari ini, harga minyak kedelai pun masih terpantau menguat. Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak kedelai kontrak Desember 2019 menguat 0,38 persen atau 0,11 poin ke posisi US$28.91 per pon, hingga pukul 14.23 WIB.

Selain itu, pembicaraan dagang antara China dan AS serta kekhawatiran perlambatan penanaman oilseed (minyak nabati) di India, pembeli top minyak tropis, juga menjadi sentimen positif bagi harga CPO.

Chandran Sinnasamy, broker berjangka di CIMB Kuala Lumpur, mengatakan ada sejumlah pembelian jelang pembicaraan perdagangan AS dan China lebih lanjut pada pekan depan.

 “Musim hujan yang telat dan laporan tentang keterlambatan penanaman oilseed mendukung penguatan harga sawit,” paparnya seperti dilansir dari Bloomberg, Kamis (25/7).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dika Irawan
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper