Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengamati Kondisi Pasar Saham di 2014 dan 2019, Seberapa Besar Efek Pemilu?

Pemilihan Umum 2019 sudah berlangsung. Kini masyarakat tinggal menunggu penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU. Lalu, bagaimana pengaruh pemilu 2019 terhadap pasar saham Tanah Air? Bagaimana bila dibandingkan dengan pemilu periode sebelumnya?
Karyawan berkomunikasi di dekat monitor informasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (11/1/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat
Karyawan berkomunikasi di dekat monitor informasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (11/1/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Pemilihan Umum 2019 sudah berlangsung. Kini masyarakat tinggal menunggu penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU. Lalu, bagaimana pengaruh pemilu 2019 terhadap pasar saham Tanah Air? Bagaimana bila dibandingkan dengan pemilu periode sebelumnya?

Bahana TCW Investment Management menilai dampak pemilu terhadap pasar modal 2019 tidak akan signifikan seperti pemilu sebelumnya sejak era reformasi. Lantas, apa alasannya?

Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management (BTIM) Budi Hikmat mengatakan bahwa pesta demokrasi Indonesia telah berlangsung dengan semarak pada pekan lalu. Kendati harus menunggu pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan hitung manual, hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga semuanya mengunggulkan pasangan Joko Widodo dan Maruf Amin.

Adapun, antusiasme para pelaku pasar pada tahun pemilu ini sudah ditandai dengan meningkatnya arus modal asing, baik di pasar modal maupun obligasi sejak awal tahun (year to date/ytd) hingga akhir pekan lalu. 

Namun demikian, dampak pemilu terhadap pasar modal pada tahun 2019 ini tidak akan sekuat pemilu sebelumnya sejak era reformasi. Budi Hikmat mengungkapkan bahwa berakhirnya era super commodity booming yang memicu defisit neraca berjalan selama 5 tahun terakhir merupakan faktor pembeda secara fundamental. 

“Pada pemilu sebelumnya, era super commodity booming ini menopang surplus neraca berjalan yang memperkuat daya beli masyarakat seperti tercermin pada peningkatan uang beredar M1. Penjualan big-ticket items seperti kendaraan bermotor, propert dan semen cenderung meningkat yang meningkatkan laba emiten. Itu sebabnya IHSG melambung naik setiap tahun pemilu. Namun pemilu kali ini ditandai dengan pelemahan pertumbuhan M1 yang sejalan dengan defisit neraca berjalan yang berisiko membatasi kenaikan IHSG,” ungkap Budi melalui siaran pers, baru-baru  ini.

Adapun, pada 2019,  kinerja pasar modal Tanah Air relatif terbatas. Belum terlihat adanya euforia pasca-pemilu setelah aksi wait and see yang terjadi beberapa pekan sebelum pemilu. Kinerja IHSG relatif terkonsolidasi sepanjang awal tahun ini. Pada saat indeks-indeks negara Asia Pasifik lainnya melaju kencang, kinerja IHSG berada hampir di urutan terakhir, yakni kedua terendah setelah Malaysia.

Sepekan setelah pemilu, IHSG masih belum menunjukkan taringnya. Justru, dibandingkan posisi pada Selasa (16/4/2019) atau hari perdagangan terakhir sebelum pemilu, posisi IHSG sudah turun sebesar 0,05% per Rabu (24/4/2019) kemarin ke level 6.447,89.

Gairah Global Menurun

Marsangap P. Tamba, Direktur Utama Danareksa Investment Management, mengatakan bahwa gairah investasi global memang menurun di awal tahun ini karena perubahan outlook pertumbuhan ekonomi global yang justru makin rendah. Faktor pemilu domestik menambah kelesuan itu.

Kondisi ekonomi global yang melemah, khususnya pasar keuangan Amerika Serikat, sebenarnya memberi keuntungan bagi pasar negara berkembang. Seharusnya, usai pemilu, kepercayaan diri investor sudah meningkat lagi di Indonesia, karena sentimen ini menjadi penghambat utama gairah investasi di Indonesia tahun ini, sehingga IHSG kalah dibandingkan negara berkembang lainnya.

“Menurut saya, investor itu tidak perlu khawatir tentang prospek ekonomi kita ke depan. Saat ini ada ketakutan bahwa hasil quick count saja belum memastikan hasil akhir, stabilitas dianggap belum tercapai, masih beresiko untuk investasi. Sebenarnya kita tidak perlu khawatir terhadap faktor non ekonomi itu,” katanya, Rabu (24/4/2019).

Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada menilai, pasar saham Indonesia cenderung rentan terhadap berbagai sentimen yang terjadi di dalam negeri maupun secara global. Pasalnya, para investor masih banyak yang langsung mengambil sikap ketika melihat segala perkembangan untuk memanfaatkan momentum.

Ketika Pemilihan Presiden (Pilpres) pada pekan lalu, investor tampak menyambut baik jalannya Pilpres yang aman dan kondusif. Kesesuaian hasil sementara dari hitung cepat (quick count) yang memenangkan petahana pun membuat aliran modal masuk asing (foreign capital inflow) mengucur hingga Rp1,42 triliun ke dalam negeri.

Namun, begitu memasuki pekan ini, indeks langsung turun tajam hingga 1,42%, atau penurunan terdalamnya dalam sebulan. Pasalnya, investor kembali memasang posisi wait and see menilik perkembangan politik dalam negeri sampai KPU resmi mengumumkan presiden dan wakil untuk memimpin Indonesia dalam periode 5 tahun ke depan.

Tak hanya itu, perkembangan dari situasi global pun turut mempengaruhi langkah para investor, seperti pertimbangan Bank Sentral AS (Federal Reserve) untuk kembali melakukan normalisasi kebijakan apabila pertumbuhan ekonomi AS mendukung.

“Ketika ada sentimen positif di bursa saham kita, ternyata di bursa saham global ada sentimen yang tidak kalah penting. Jadi, pergerakan positif yang sudah terjadi ini akhirnya dimanfaatkan oleh pelaku pasar untuk profit taking,” kata Reza kepada Bisnis.com, Selasa (23/4/2019).

Bagaimana di 2014?

Sebelumnya, Deputy Chief Investment Officer Mandiri Investasi Aldo Perkasa menilai, konsisi pasar saham Indonesia pada tahun politik kali ini dapat diperbandingkan dengan tahun politik 2014.

“Tahun pemilu, kecenderungan IHSG bergerak positif,” ujarnya dalam acara Mandiri Investasi Market Outlook 2019 bertema Sunshine After the Rain: Finding Pots of Gold at the end of the Rainbow, di Jakarta, pada Februari lalu.

Adapun, Aldo mengacu kepada kondisi yang terjadi pada 2013 ketika Indonesia diterpa aksi jual. Kala itu, sentimen pemberat dari eksternal datang dari Bank Sentral AS (Federal Reserve) yang mulai memasuki masa pengetatan moneter. Sementara dari domestik, Indonesia terkendala masalah defisit neraca berjalan (current account deficit). Alhasil, rupiah terdepresiasi dan IHSG melemah 0,98% secara tahunan.

Namun demikian, kepastian dari Pilpres 2014 berhasil melambungkan IHSG hingga 22,29% secara tahunan. “2014 menarik, kurang lebih kondisinya sama [dengan 2019 nanti]. Karena 2013 pertama kali The Fed melakukan pengetatan, rupiah terdepresiasi, dan ada masalah CAD juga,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Aldo menunjukkan bahwa pada 2014 memang terjadi perlambatan ekonomi Indonesia di mana PDB 2014 turun ke level 5,02% dari tahun sebelumnya pada level 5,78%. Namun demikian, hal itu tetap tidak mempengaruhi aktivitas perdagangan saham (trading) yang dibuktikan dengan penguatan indeks.

Adapun untuk tahun ini, pasar saham Indonesia diperkirakan bakal pulih beriringan dengan pasar negara berkembang (emerging market) lainnya. Pasalnya, sentimen dovish dari kenaikan suku bunga AS dan antisipasi dampak dari perang dagang diharapkan dapat melegakan emerging market.

Kendati pemulihan untuk Indonesia relatif lebih rendah ketimbang negara-negara berkembang lainnya, pasar saham tanah air diperkirakan tetap akan dapat menikmati keuntungan dari berbaliknya investor ke aset-aset berisiko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper