Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dolar AS Melemah, Rupiah Sumringah

Nilai tukar rupiah berhasil rebound dan ditutup menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Selasa (26/3/2019).
Karyawan memegang mata uang rupiah di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung, Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (28/1/2019)./ANTARA-Sigid Kurniawan
Karyawan memegang mata uang rupiah di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung, Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (28/1/2019)./ANTARA-Sigid Kurniawan

Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah berhasil rebound dan ditutup menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Selasa (26/3/2019).

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup menguat 12 poin atau 0,08% di level Rp14.173 per dolar AS, dari level penutupan perdagangan sebelumnya.

Pada perdagangan Senin (25/3), rupiah berakhir melemah 22 poin atau 0,16% di level Rp14.185 per dolar AS, pelemahan perdagangan hari kedua.

Rupiah mulai rebound dari pelemahannya dengan dibuka terapresiasi 7 poin atau 0,05% di level Rp14.178 per dolar AS pagi tadi.

Sepanjang perdagangan hari ini, rupiah bergerak di level Rp14.163 – Rp14.178 per dolar AS.

Mata uang lainnya di Asia mayoritas justru melemah terhadap dolar AS petang ini, dipimpin yen Jepang dan baht Thailand, masing-masing sebesar 0,37% dan 0,36%.

Penguatan rupiah hanya diikuti won Korea Selatan dan rupee India yang terapresiasi 0,07% dan 0,13% terhadap dolar AS pada pukul 17.16 WIB.

Sementara itu, indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama terpantau kembali turun 0,029 poin atau 0,03% ke level 96,537 pada pukul 17.06 WIB.

Pergerakan indeks dolar sebelumnya dibuka dengan pelemahan 0,067 poin atau 0,07% di level 96,499, setelah pada perdagangan Senin (25/3) ditutup turun 0,09% atau 0,085 poin di posisi 96,566.

“Mata uang Asia sebagian besar diperdagangkan dalam kisaran [sempit] dan jika sentimen untuk aset berisiko tetap stabil, kami pikir ini dapat berlanjut mendukung mata uang berimbal hasil tinggi,” ujar Dushyant Padmanabhan, pakar strategi mata uang di Nomura Holdings Inc., Singapura.

“Fokus pasar saat ini adalah pada berlanjutnya penurunan imbal hasil, yang tampaknya didorong oleh kombinasi data pertumbuhan yang lebih lemah serta sikap bank-bank sentral yang lebih dovish,” tambahnya, seperti dikutip Bloomberg.

Kekhawatiran tentang kondisi ekonomi dunia meningkat pekan lalu setelah pernyataan dovish The Fed mengakibatkan imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun merosot ke level terendah sejak awal 2018.

Pekan lalu, Gubernur The Fed Jerome Powell mengutarakan komentar yang mengindikasi rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) tersebut untuk menunda kenaikan suku bunga tahun ini.

Ini tampaknya mengkonfirmasi sikap dovish The Fed sekaligus mendatangkan kekhawatiran baru tentang perlambatan negara adidaya tersebut.

Imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun AS tercatat pada posisi 1,9 basis poin di bawah suku bunga tiga bulan, setelah inversi yield terjadi untuk pertama kalinya sejak 2007 pada Jumat (22/3).

Kurva imbal hasil yang berinversi dipandang sebagai indikator bahwa resesi kemungkinan akan terjadi dalam waktu dekat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper