Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Malaysia Minta Parlemen Uni Eropa Tak Bahas Pembatasan Minyak Sawit

Malaysia geram dengan dengan keputusan Komisi Eropa yang menyimpulkan penghapusan minyak kelapa sawit.
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Malaysia geram dengan dengan keputusan Komisi Eropa yang menyimpulkan penghapusan minyak kelapa sawit.

Dilansir dari Reuters, pada Rabu (13/3/2019), Komisi Eropa memutuskan, budidaya tanaman tersebut menghasilkan deforestasi berlebih, sehingga penggunannya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan.

Menyikapi hal itu, Menteri Industri Primer Malaysia Teresa Kok telah mendesak Komisi Komisi Eropa untuk tidak mengajukan proposoal yang membatasi penggunaan sawit dan secara efektif melarang bahan bakar nabati kelapa sawit di UE pada 2030.

Usulan peraturan yang didelegasikan melengkapi petunjuk 2018/2019 dari EU Renewable Energy Directive II, yang bertujuan membatasi dan melarang biofuel minyak sawit di UE pada 2030, diperkirakan diajukan ke Parlemen Eropa bulan depan.

Menurut Kok, para ahli kementerian masih di Eropa dan tengah berupaya membenarkan kasus penemuan ilmiah berbasis minyak kelapa sawit ke Komisi Eropa. “Kami telah mengirim para ahli untuk mempresentasikan argumen mereka dari persepektif sains. Kami ingin berargumen bahwa peraturan [yang diajukan itu] tidak berdasarkan fakta berbasis ilmu pengetahuan,” katanya dikutip dari Bloomberg, Kamis (14/3/2019).

Kok menilai, argumen Komisi Eropa dari aspek metodologi tidak masuk akal secara ilmiah. Metodologi yang digunakan, menurutnya, salah.  Oleh sebab itu, penting bagi Malaysia untuk membuktikan hal tersebut sekaligus melawan pesan-pesan merugikan yang disampaikan lewat iklan di beredar di negara-negara Eropa tentang sawit.

“Saat ini, ada iklan yang beredar di negara-negara Eropa terhadap perusahaan yang memproduksi produk menggunakan minyak sawit,” ujarnya.

Kok mengatakan, mereka menargetkan perusahaan yang menggunakan minyak sawit dalam produk makanan mereka. “Mereka menodai citra perusahaan. Hal ini adalah tantangan yang kami hadapi saat ini,” katanya.

Sementara itu, sekretaris jenderal kementerian Tan Yew Chong mengatakan, klasifikasi semua minyak sawit sebagai bahan baku biofuel berisiko tinggi (Indirect Land Change) tidak dapat diterima.

Dia menambahkan, temuan yang merusak tersebut diperoleh dengan interpretasi yang keliru dan bias oleh Komisi Eropa.

Klasifikasi tersebut, katanya, merugikan negara-negara penghasil minyak sawit yang bergantung pada industri ini untuk meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat. “Tindakan tersebut menciptakan hambatan yang tidak beralasan untuk praktik berkelanjutan di industri dan, secara keseluruhan, menghambat perdagangan bebas, tambahnya.

Untuk diketahui, dalam keputusannya, Komisi Eropa menerbitkan kriterianya untuk menentukan tanaman apa yang menyebabkan kerusakan lingkungan, bagian dari undang-undang Uni Eropa baru untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan menjadi 32% pada 2030 dan menentukan apa sumber terbarukan yang sesuai.

Penggunaan bahan baku biofuel yang lebih berbahaya akan ditutup secara berangsur pada 2019 hingga 2023, dan dikurangi menjadi nol pada 2030. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dika Irawan
Editor : Riendy Astria
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper