Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Putin Diminta Tinjau Ulang Kesepakatan Pemangkasan Produksi Minyak

Kesepakatan Rusia memangkas produksi minyaknya bersama Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) rupanya memunculkan kekhawatiran perusahaan minyak Rusia, Rosneft.
Presiden Rusia Vladimir Putin memasuki aula untuk bertemu dengan kandidat yang berpartisipasi dalam pemilihan presiden sesi terakhir, di Kremlin di Moskow./Reuters
Presiden Rusia Vladimir Putin memasuki aula untuk bertemu dengan kandidat yang berpartisipasi dalam pemilihan presiden sesi terakhir, di Kremlin di Moskow./Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Kesepakatan Rusia memangkas produksi minyaknya bersama Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) rupanya memunculkan kekhawatiran perusahaan minyak Rusia, Rosneft.

Igor Sechin, bos perusahaan minyak Rusia Rosneft dilaporkan telah mengirimkan surat kepada Presiden Rusia Vladimir Putin perihal kekhawatirannya terhadap langkah tersebut. Menurut pria yang juga dekat dengan Putin itu, kesepakatan tersebut merupakan ancaman strategis bagi negaranya.

Dikutip dari Reuters, Minggu (10/2), dalam surat tersebut tidak tertulis apakah perjanjian yang berlaku sejak 2017 antara OPEC dan produsen minyak besar lainnya yang dipimpin oleh Rusia harus diperpanjang atau tidak.

Menurut dua sumber Reuters, surat itu adalah sinyal yang jelas bagi pejabat senior Rusia lainnya yang terlibat dalam kebijakan energi bahwa Sechin ingin kesepakatan itu berakhir.

Meskipun demikian, tidak ada jaminan Putin akan mendukung pandangan Sechin atau tidak. Sebab Putin melihat pakta dengan OPEC merupakan bagian dari upaya memainkan teka-teki besar tentang Suriah dan masalah geopolitik lainnya. Di dalamnya melibatkan Arab Saudi, sebagai gembong OPEC.

“Surat itu merupakan ancaman bagi perpanjangan kesepakatan. Tapi bagaimanapun, Putin adalah pengambil keputusan utama, ”kata salah satu sumber itu.

Sechin adalah satu-satunya pejabat Rusia yang secara konsisten menentang kesepakatan OPEC, sejak Kremlin mendukung rencana tersebut.

"Para peserta perjanjian OPEC + sebenarnya telah menciptakan keunggulan preferensi bagi AS - yang memandang peningkatan pangsa pasarnya sendiri dan perebutan pasar sasaran sebagai tugas utamanya - yang telah menjadi ancaman strategis bagi pengembangan industri minyak Rusia," demikian isi surat itu.

Sechin mengatakan, tantangan strategis utama yang dihadapi industri minyak Rusia kini adalah penurunan lebih lanjut dalam pangsa pasar Rusia.”Terlepas dari ketersediaan cadangan minyak yang dapat dipulihkan, infrastruktur dan personel yang diperlukan.”

Rosneft, produsen minyak terbesar di Rusia, telah menjadi kontributor utama dalam pemangkasan produski. Rosneft telah mengisyaratkan bahwa produksi minyaknya dapat meningkat 3% menjadi 4,5% tahun ini.

Sementara itu, kesepakatan OPEC + telah membantu harga minyak naik dua kali lipat menjadi lebih dari US$60 per barel. Hal ini telah diperpanjang beberapa kali. Di bawah kesepakatan terbaru, para peserta memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) hingga akhir Juni 2019.

Sementara itu, OPEC dan sekutunya akan bertemu pada 17-18 April di Wina untuk meninjau pakta tersebut.

Apabila Rusia meninggalkan kesepakatan akan mengakibatkan jatuhnya harga minyak yang tajam. Selain itu, dapat memaksa Arab Saudi menanggung sebagian besar beban pemotongan produksi minyak. Riyadh mengatakan, tidak akan melakukan ini sendirian.

Jatuhnya harga minyak akan memberikan pukulan hebat bagi perusahaan minyak AS karena beban operasional lebih mahal untuk mengekstraksi minyak. Tetapi hal itu akan menguntungkan ekonomi AS secara lebih luas.

AS yang berhasil menyalip Rusia dan Arab Saudi sebagai produsen minyak terbesar dunia tahun lalu, tidak berpartisipasi dalam pengurangan produksi ini.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Jumat (10/2), harga minyak West Texas Intermediate kontrak Maret 2019 ditutup menguat 0,15% atau 0,08 poin di level US$52,27 per barel. Penguatan juga terjadi pada harga minyak Brent kontrak April 2019 sebesar 0,76% atau 0,47 poin menjadi US$62,10 per barel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dika Irawan
Editor : Ana Noviani

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper