Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Emiten BUMN Tancap Gas, Saham Konstruksi & Bank Moncer

Sejumlah emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengawali enam hari perdagangan 2019 dengan raihan positif. Bahkan, beberapa saham berhasil mencatatkan pertumbuhan harga hingga dua digit untuk periode berjalan tahun ini.
Karyawan melintas di dekat papan penunjuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (7/1/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
Karyawan melintas di dekat papan penunjuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (7/1/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA— Pergerakan saham sejumlah emiten pelat merah langsung tancap gas pada awal 2019 sejalan dengan valuasi yang masih terbilang murah didorong kinerja fundamental ciamik serta serentetan faktor makro ekonomi.

Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis dari Bloomberg, sejumlah emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengawali enam hari perdagangan 2019 dengan raihan positif. Bahkan, beberapa saham berhasil mencatatkan pertumbuhan harga hingga dua digit untuk periode berjalan tahun ini.

Saham PT PP (Persero) Tbk. memimpin pertumbuhan harga saham emiten BUMN untuk periode berjalan 2019 hingga penutupan perdagangan, Rabu (9/1), dengan penguatan 21,33%. Emiten bersandi PTPP itu tercatat ditutup di level Rp2.190 pada sesi perdagangan terakhir.

Selain PTPP, emiten BUMN konstruksi lainnya, PT Waskita Karya (Persero) Tbk., juga membukukan hasil ciamik. Pasalnya, saham emiten berkode WSKT itu tercatat menguat 19,64% untuk periode berjalan 2019.

Dari sektor perbankan, setelah pada sesi yang sama tahun sebelumnya mengalami koreksi, saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. menguat pada enam hari sesi perdagangan 2019. Tercatat, saham perseroan menguat 1,64% pada sesi perdagangan enam hari pertama tahun ini.

Di sisi lain, pergerakan saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. juga menguat 2,71% awal tahun ini. Pencapaian itu berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun lalu dengan koreksi 1,25%.

Kepala Riset Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan menjelaskan bahwa investor asing cukup agresif pada awal 2019. Pasalnya, net buy yang dibukukan mencapai Rp1,5 triliun.

Alfred menilai laju saham emiten BUMN pada awal tahun ini tidak terkait dengan “January Effect”. Menurutnya, momentum tersebut biasanya tidak terjadi di Indonesia.

Pergerakan saham emiten BUMN, sambungnya, didorong oleh beberapa faktor. Dari sisi makro misalnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang cukup solid serta angka APBN menjadi sentimen positif bagi investor.

Secara lebih rinci, Alfred menyebut saham emiten BUMN yang meleset pada awal tahun ini memang memiliki sentimen positif baik dari sektoral maupun fundamental. 

Dia mencontohkan saham emiten BUMN konstruksi yang secara posisi memang menjadi pemimpin di sektor tersebut. Laju saham para kontraktor pelat merah itu didorong kepercayaan diri pasar terhadap kinerja keuangan emiten. “Confident pasar ketika arus kas mengalami perbaikan pada 2018 sehingga mereka berani melakukan pembelian,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (9/1).

Selain itu, pihaknya menyebut saham emiten BUMN konstruksi memiliki valuasi yang murah. Dengan price earning ratio (PER) di kisaran 7 kali hingga 8 kali saat ini, masih terdapat ruang pertumbuhan yang tinggi karena pernah menembus level 20 kali. “Valuasi emiten BUMN karya cukup murah karena earnings per share  juga terus mengalami kenaikan,” imbuhnya.

Sementara itu, Alfred juga menilai saham emiten BUMN perbankan mengawali 2019 dengan sangat baik. Oleh karena itu, saham BMRI, BBNI, TLKM, dan WSKT menjadi top picks. 

Di sisi lain, Frederik Rasali, Vice President Research Artha Sekuritas menilai pergerakan saham emiten BUMN dipengaruhi oleh “January Effect” serta kondisi eksternal. 

Frederik menyebut saham-saham emiten BUMN konstruksi dan perbankan terkena imbas January Effect. Pasalnya, pada momentum tersebut, investor akan menyasar emiten yang undervalued dan liquid. 

Sebagai contoh, emiten BUMN konstruksi WIKA, ADHI, PTPP, dan WSKT memiliki PER Trailing 12 Months (TTM) di bawah 12 kali saat sesi penutupan perdagangan 2018. 

“Pergerakan saham emiten BUMN pada awal tahun biasanya [juga dipengaruhi] mendekati laporan keuangan full year dan juga pengumuman pembagian dividen karena mayoritas membagikan cukup signifikan dari laba bersih,” paparnya.

Adapun, dia juga menilai saham emiten BUMN perbankan terkena imbas January Effect. Pihaknya mencontohkan laju BMRI yang masih mengalami upside awal tahun ini.

Secara terpisah, Analis Panin Sekuritas William Hartanto menilai saham BUMN konstruksi paling terkena imbas January Effect dibandingkan emiten sektor lainnya. Hal itu sejalan dengan valuasi, perolehan kontrak yang bertumbuh, dan spekulasi pemilu. “Pilihannya [top picks] ADHI, WSKT, PTPP, dan WIKA,” tuturnya.

Di lain pihak, Presiden Direktur Sucorinvest Asset Management Jemmy Paul menyebut emiten BUMN selalu menarik karena pendapatan dan laba bersih yang cenderung naik tiap tahun. Sebagai pilihan koleksi, biasanya dipilih saham dengan valuasi yang paling murah atau sektor paling menarik.

Jemmy menilai tahun ini masih optimistis harga nikel bakal mengalami kenaikan signifikan. Oleh karena itu, pihaknya masih menyukai saham ANTM.

Selain itu, sambungnya, profitabilitas sektor perbankan juga akan membaik setelah perseroan menaikkan coverage ratio. Pencadangan akan berkuran dan membuat kenaikan pada profit bank.“BBNI dan BBRI jadi top picks,” jelasnya.

Untuk sektor saham BUMN konstruksi, dia menyukai saham ADHI dan PTPP. Alasannya, valuasi yang dimiliki keduanya terbilang menarik.

Direktur Research dan Alternative Investment PT Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo menilai terdapat beberapa emiten BUMN yang menarik karena hasil keuangan yang baik. Saham pilihan di sektor pelat merah menurutnya yakni BBRI, BMRI, BBNI, TLKM, PTBA, PGAS, JSMR, SMGR, dan PTPP.

Soni menjelaskan bahwa terdapat beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan baik dan kurang baiknya keuangan emiten di antaranya pendapatan, laba bersih, dan operational profits. Untuk emiten perbankan, ditambah kriteria non performing loan rendah, loan to deposit ratio tinggi, provisi mencukupi, dan capital adequacy ratio memenuhi kriteria minimum Bank Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper