Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Siap-siap Terima Kado Akhir Tahun

Namun, sejak awal November, arus modal asing balik kencang ke emerging market khususnya Indonesia, yang telah mengalami depresiasi rupiah terburuk dan performa buruk di pasar modal Indonesia, baik itu IHSG maupun SUN
Indonesia Tetap Menarik Bagi Investor
Indonesia Tetap Menarik Bagi Investor

Bisnis.com, JAKARTA – Jangan sampai terlalu pesimistis dengan indeks harga saham gabungan (IHSG) dan surat utang negara (SUN) Indonesia. Pada 15 Mei 2018, IHSG terpuruk ke 5.838 dengan price to book value (PBV) IHSG telah mencapai 2,4 kali.

Adapun, pesimisme kembali memuncak pada 25 Oktober 2018, di mana IHSG terpuruk ke 5.754 dan mencapai level terendahnya pada level 5.623. Hal ini membuat PBV IHSG mencapai 2,17 kali atau terendah sejak 2005.

Pada periode 2005-2009, saat belum ada program Quantitative Easing (QE), rata-rata PBV IHSG mencapai 2,6 kali, dengan suku bunga The Fed mencapai 4%—4,5%.

Pada periode tersebut, Indonesia credit rating masih “non-investment grade” alias BB, dengan tingkat inflasi tinggi mencapai 7% per annum. Lalu masuklah periode QE antara 2009-2013 di mana IHSG PBV rata rata adalah 2,8 kali dan rerata inflasi 5%—6%.

Jadi, dengan kata lain, “Irrational Exuberance” (ketidakrasionalan yang berlebihan) sudah mencapai titik nadir, meskipun pertumbuhan laba sektor perbankan, sektor otomotif, dan sektor rokok pada kuartal III/2018 menyumbang pertumbuhan earning untuk IHSG sebesar 9%—12%.

Walaupun inflasi Oktober Indonesia secara tahunan mencapai 3,1% dan riil yield tertinggi di antara emerging market, nila tukar rupiah tercatat paling terpuruk nomor dua dari bawah setelah India. Pesimisme terhadap pasar modal Indonesia yang mencapai titik nadirnya pada Oktober tersebut didorong oleh menguatnya pertumbuhan PDB Amerika Serikat (AS) pada kuartal II yang mencapai 4,5%.

Selain itu, juga didorong oleh perang dagang antara AS dan China, serta kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) agresif yang diproyeksikan masih berlangsung hingga 2019.

Namun, sejak awal November, arus modal asing balik kencang ke emerging market khususnya Indonesia, yang telah mengalami depresiasi rupiah terburuk dan performa buruk di pasar modal Indonesia, baik itu IHSG maupun SUN.

Pada saat yang bersamaan, nilai tukar rupiah sudah mulai apresiasi terhadap dolar AS secara perlahan, dari kisaran Rp14.700—Rp14.800 ke posisi Rp14.300—Rp14.400. Sementara itu, yield SUN tenor 10 tahun merangkak turun dari 8,2% ke 7,9%. Pada akhir pekan lalu, yield SUN tenor 10 tahun mulai perlahan turun ke level 7,7% seiring dengan arus modal asing masuk kembali.

Penguatan rupiah dan penurunan imbal hasil atau yield SUN ini berimbas kepada kenaikan IHSG secara signifikan. Membaiknya “risk appetite” investor asing dipicu oleh mulai melambatnya pertumbuhan PDB AS pada kuartal III sebesar 3,5%, di mana dampak dari pemotongan pajak korporasi sudah mulai berkurang.

Perang dagang juga sudah mulai memberikan dampak negatif terhadap perusahaan AS, seperti John Deer, dan beberapa perusahaan berbasis teknologi, seperti Apple. Sudah banyak perusahaan AS yang mengurangi proyeksi pertumbuhan laba 2019. Dampak perang dagang, melambatnya pertumbuhan PDB AS pada kuartal III, dan mulai berkurangnya dampak pemotongan pajak membuat tone dari the Fed melunak untuk kenaikan FFR secara agresif.

Dan jangan lupa, kenaikan FFR yang terlalu agresif juga tidak menarik untuk investor saham di AS, di mana 60% “wealth” (kekayaan) household AS berasal dari kepemilikan saham.

Dengan kata lain, setidak-tidaknya harus ada jeda sejenak atau “pause” untuk kenaikan FFR secara agresif lantaran tidak baik bagi penerimaan pajak individu di AS. Penerimaan pajak individu berkorelasi positif terhadap pergerakan harga saham di AS dan berkorelasi negatif dengan FFR.

Pelemahan mata uang AS secara serentak terhadap mata uang emerging market selama November meningkatkan “risk appetite” investor asing terhadap IHSG. Akibatnya month to date, arus modal masuk dari investor asing ke IHSG mencapai Rp10.2 triliun, sedangkan asing mencatat arus modal masuk ke surat utang negara sekitar Rp30,4 trilliun.

Hal ini membantu penguatan rupiah sehingga secara year-to-date (ytd) terdepresiasi 5,67% menjadi Rp14.360 dari yang sebelumnya Rp15.100. Pelemahan harga minyak dunia dan penguatan rupiah secara bersamaan akan membuat trade balance deficit menciut. Penguatan rupiah juga membuat beban bahan baku berkadar impor menjadi berkurang. Ini merupakan katalis positif bagi perbaikan current account deficit (CAD) Indonesia yang pada akhirnya mengurangi tekanan terhadap rupiah.

Berkurangnya tekanan terhadap rupiah, penurunan harga minyak dunia, serta kenaikan FFR secara perlahan setidaknya membuat tekanan terhadap Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuan 7D RRR akan berkurang. Penurunan credit default swap (CDS) secara perlahan memberikan sinyal bahwa persepsi investasi Indonesia masih positif di mata investor asing.

Secara sektoral, perbankan masih primadona karena melihat kinerja kuartal III/2018, khususnya BBRI, BBNI, BMRI, BBTN yang menorehkan earnings growth double digit. Lalu sektor otomotif, penjualan kendaraan roda dua dan roda empat pada kuartal II dan kuartal III berturut turut menunjukkan kinerja pertumbuhan 7%.

Sektor telekomunikasi (TLKM), meski kinerja keuangan pada kuartal II dan kuartal III turun, tetapi kinerja mobile data dan meredanya perang tarif menunjukkan pertumbuhan tinggi dan capex diekspektasikan sampai tahun depan lebih kecil. Hal ini juga karena capex pada kuartal I dan kuartal II tahun ini sudah tinggi.

Kemudian, sektor konsumer dengan subsektor rokok juga akan bagus kinerjanya. Tidak adanya kenaikan cukai rokok akan mendongkrak kinerja GGRM dan HMSP. Kenaikan bantuan sosial dan dana desa (termasuk dana kelurahan) serta pesta demokrasi pada 2019 juga menjadi katalis positif bagi sektor basic consumer goods. Tingginya “risk appetite” investor asing, pelemahan mata uang AS secara serentak serta faktor window dressing membuat IHSG kemungkinan besar ditutup pada rentang 6.100—6.150 pada pengujung 2018.

Faktor eksternal, seperti kenaikan FFR secara gradual, pergerakan harga minyak; dan faktor internal, seperti membaiknya CAD (2,5% terhadap PDB), serta stabilnya rupiah masih menjadi katalis pergerakan IHSG pada 2019.

Dengan asumsi nilai tukar piah pada posisi Rp14.500—Rp14.600, inflasi pada kisaran 3%—3,5%, serta earnings growth 7%—9%, IHSG diekspektasikan berada pada level 6.700.

Alih-alih menggantungkan kepada capital inflows, dilonggarkannya fasilitas tax holiday—yang tidak hanya memperluas sektor usaha tetapi juga memudahkan pengusaha untuk mengurus izin—bisa meningkatkan foreign direct investment (FDI), khususnya disektor manufaktur, guna memperbaiki current account deficit dan balance of payment Indonesia.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (3/12/2018)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper