Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Minyak Bervariasi, Stok AS Diprediksi Meningkat

Harga minyak duni mundur dari reli awal, setelah data yang menunjukkan persediaan minyak mentah Amerika Serikat kemungkinan meningkat membebani pasar.
Ilustrasi/Reuters
Ilustrasi/Reuters

Bisnis.com, NEW YORK - Harga minyak dunia pada akhir perdagangan Senin atau Selasa (11/9/2018) pagi WIB terpantau bervariasi.

Harga minyak duni mundur dari reli awal, setelah data yang menunjukkan persediaan minyak mentah Amerika Serikat kemungkinan meningkat membebani pasar.

Pedagang-pedagang mengatakan data mingguan dari Bloomberg menunjukkan persediaan minyak AS meningkat, bertentangan dengan laporan sebelumnya dari penyedia informasi energi Genscape, yang memperkirakan persediaan menurun.

Data tersebut meredam sentimen bullish yang telah mendorong perdagangan di awal sesi.

"Ini adalah khusus Senin (10/9) pagi bahwa angka Bloomberg atau Genscape dapat mematikanh reli," kata Bob Yawger, direktur berjangka di Mizuho di New York.

Minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober turun 0,21 dolar AS menjadi menetap di 67,54 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.

Sementara itu, patokan global, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November bertambah 0,54 dolar AS menjadi ditutup pada 77,37 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange, setelah menyentuh tertinggi sesi 77,92 dolar AS per barel.

Pada awal sesi, minyak mentah telah menguat karena pertumbuhan pengeboran minyak AS direm dan investor mengantisipasi pasokan yang lebih rendah setelah sanksi-sanksi baru AS terhadap ekspor minyak mentah Iran dimulai pada November.

"Jumlah rig yang rendah mengatur panggung bagi kita untuk bergerak lebih tinggi," kata Phil Flynn, analis di Price Futures Group di Chicago. "Pada akhirnya, Anda juga memiliki badai yang dapat mempengaruhi persediaan untuk beberapa waktu mendatang."

Para pengebor minyak AS megurangi dua rig minyak minggu lalu, mengurangi jumlah rig menjadi 860 rig, perusahaan jasa energi Baker Hughes mengatakan pada Jumat (7/9).

Pertumbuhan jumlah rig pengeboran untuk minyak di Amerika Serikat telah terhenti sejak Mei, mencerminkan peningkatan dalam produktivitas sumur tetapi juga hambatan dan kendala infrastruktur.

"Skenario harga minyak yang lebih tinggi dibangun pada ekspor yang lebih rendah dari Iran karena sanksi AS, terbatasnya pertumbuhan produksi serpih AS, ketidakstabilan dalam produksi di negara-negara seperti Libya dan Venezuela serta tidak ada dampak negatif material dari perang perdagangan AS-China terhadap permintaan minyak dalam 6-9 bulan ke depan," kata Harry Tchilinguirian, ahli strategi minyak di bank Prancis, BNP Paribas.

"Kami memperkirakan perdagangan Brent di atas 80 dolar AS dalam skenario (itu)," katanya kepada Reuters Global Oil Forum.

Di luar Amerika Serikat, ekspor minyak mentah Iran menurun menjelang tenggat waktu November untuk pelaksanaan sanksi baru AS.

Meskipun banyak importir minyak Iran mengatakan mereka menentang sanksi-sanksi, beberapa tampaknya siap untuk mematuhi Washington.

"Pemerintah bisa bicara keras," kata konsultan Energi FGE. "Mereka dapat mengatakan bahwa mereka akan membela Trump dan/atau mendorong keringanan-keringanan. Tetapi umumnya perusahaan yang kami ajak bicara ... mengatakan bahwa mereka tidak akan mengambil risiko," kata FGE.

"Hukuman finansial dan hilangnya jaminan pengiriman membuat semua orang takut." Sementara Washington melakukan tekanan pada negara-negara untuk memotong impor dari Iran, juga mendesak produsen lain untuk meningkatkan produksi guna menekan harga.

Menteri Energi AS Rick Perry akan bertemu rekan-rekannya dari Arab Saudi dan Rusia masing-masing pada Senin (10/9) dan Kamis (13/9), ketika pemerintahan Trump meminta eksportir dan produsen terbesar dunia untuk mempertahankan produksi mereka.

Para investor prihatin tentang dampak pada permintaan minyak dari sengketa perdagangan antara Amerika Serikat dan ekonomi besar lainnya, serta pelemahan di negara-negara berkembang.

"Perang perdagangan dan terutama kenaikan suku bunga, dapat menimbulkan masalah bagi negara-negara berkembang yang menggerakkan pertumbuhan permintaan (minyak)," kata FGE.

Meskipun demikian, konsultan mengatakan kemungkinan harga minyak yang jauh lebih lemah cukup rendah karena Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mungkin akan menyesuaikan produksi untuk menstabilkan harga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Editor : Saeno
Sumber : Antara/Reuters

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper