Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Sempat Kembali Menembus 14.400, Ini Kata Ekonom

Setelah mengalami rebound pada pembukaan perdagangan di pasar spot pada Jumat (29/6/2018), rupiah sempat kembali melemah dan menyentuh level Rp14.000. Tekanan eksternal disebut sebagai salah satu penyebab.
Ilustrasi/Bisnis
Ilustrasi/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA -- Setelah mengalami rebound pada pembukaan perdagangan di pasar spot pada Jumat (29/6/2018), rupiah sempat kembali melemah dan menyentuh level Rp14.000.

Rupiah dibuka rebound setelah menguat 24 poin atau 0,17% di level Rp14.370 per dolar AS di pasar spot, Jumat (29/6). Namun, posisinya melemah lagi dan turun ke level Rp14.402 per dolar AS.

Terakhir, per pukul 10.05 WIB, rupiah berbalik lagi ke posisi Rp14.368 setelah menguat 0,18%.

Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan pergerakan rupiah ini disebabkan oleh besarnya tekanan eksternal.

"Kalau kita bicara kurs kan bicara supply demand. Di saat demand untuk dolar AS sedang tinggi, maka harusnya ada suplai dolar AS dari eksportir. Sayangnya, enggak banyak suplai dari eksportir," paparnya kepada Bisnis, Jumat (29/6).

Kekhawatiran terhadap perang dagang global juga menjadi tekanan tersendiri bagi nilai tukar rupiah.

Adapun riset Bank Mandiri yang dirilis hari ini memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran Rp14.100-Rp14.395.

Sementara itu, Kepala Ekonom Bank CIMB Niaga Adrian Panggabean menyatakan koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan outflow investor asing di pasar saham pada Kamis (28/6) bisa berdampak buruk terhadap rupiah.

Dalam risetnya yang diterima Bisnis, Jumat (29/6), dia memperkirakan rupiah diperdagangkan di rentang Rp14.275-Rp14.425 pada hari ini.

Kemarin, IHSG berakhir di zona merah dengan pelemahan 2,08% atau 120,23 poin ke level 5.667,32. Penurunan ini sekaligus menjadi koreksi selama tiga hari berturut-turut.

Adapun dana asing yang keluar dari pasar saham disebut mencapai Rp692 miliar.

"Kedua hal ini potensial negatif pada nilai tukar rupiah," tulis Adrian.

Sebelumnya, Ekonom Bank Central Asia David Sumual mengatakan kondisi perekonomian Indonesia saat ini rentan terhadap penguatan dolar AS sebagai konsekuensi dari impor komoditas dan deindustrialisasi dalam satu dekade terakhir.

“Dulu porsi sektor industri kita [Indonesia] hampir 30%, sekarang justru turun ke arah 25%. Akhirnya mengganggu penyerapan tenaga kerja. Apabila tidak ada tenaga kerja atau banyak pengangguran, maka daya beli masyarakat akan terpengaruh, pendapatan menurun, akan mengganggu ekonomi,” katanya kepada Bisnis, Kamis (28/6).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper