Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Melemah, Ekonom Sebut RI Masih Bergantung pada Impor

Pelemahan rupiah terus berlanjut yang disinyali karena faktor eksternal juga ketergantungannya pada impor. Pelemahan rupiah kini diharapkan tidak memberikan dampak dalam waktu dekat pada perekonomian Indonesia.
Uang rupiah./Bloomberg-Brent Lewin
Uang rupiah./Bloomberg-Brent Lewin

Bisnis.com, JAKARTA – Pelemahan rupiah terus berlanjut yang disinyali karena faktor eksternal juga ketergantungannya pada impor. Pelemahan rupiah kini diharapkan tidak memberikan dampak dalam waktu dekat pada perekonomian Indonesia.

David Sumual, Ekonom Bank Central Asia, memaparkan kondisi perekonomian Indonesia saat ini sangat rentan terhadap penguatan dolar AS.

Menurut dia, pelemahan perekonomian Indonesia menjadi konsekuensi yang harus diambil karena ketergantungan Indonesia pada impor komoditas dan deindustrialisasi dalam satu dekade terakhir.

“Dulu porsi sektor industri kita [Indonesia] hampir 30%, sekarang justru turun ke arah 25%, jadi akhirnya mengganggu penyerapan tenaga kerja. Apabila tidak ada tenaga kerja atau banyak pengangguran, maka daya beli masyarakat akan terpengaruh, pendapatan menurun, akan mengganggu ekonomi,” katanya pada Bisnis, Kamis (28/6/2018).

David menuturkan bahwa masalah Indonesia dari dulu hingga kini masih sama, yakni transaksi berjalan yang defisit dan ekspor yang masih bergantung pada komoditas.

“Apabila aliran modal harus mengalir keluar karena ada prospek kenaikan suku bunga atau gejolak perang dagang, akibatnya rupiah ikut bergejolak. Misalnya transaksi berjalan negara kita surplus seperti negara lain, Thailand dan Malaysia, mata uang kita bisa lebih stabil, dan pemerintah busa lebih leluasa untuk mengendalikan rupiah,” ujarnya.

Indonesia juga tidak masuk dalam rantai produksi, kalah bersaing dengan negara lain di Asia seperti Vietnam yang bisa masuk dalam rantai produksi.

“Jarang ada produk yang dibuat dari satu negara, jadi dalam satu produk biasanya komponennya dikerjakan dari berbagai negara, misalnya produksi telepon genggam, chip-nya dari Taiwan, layarnya dari China. Indonesia tidak masuk dalam rantai produksi, maka untuk investasi kita dianggao tidak bisa bersaing dengan negara-negara lain,” lanjut David.

Defisit sektor jasa dan pariwisata juga masih cukup besar, pasalnya, sektor pariwisata masih harus terus didorong karena bisa menjadi sumber devisa.

Jumlah wisatawan asing di Indonesia dinilai masih kalah dengan negara kecil seperti Singapura dan Malaysia, padahal Indonesia lebih luas dan potensi pariwisatanya lebih besar.

David menyampaikan bahwa dalam pertemuan Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), Asian Games 2018 diharapkan bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan luar untuk datang ke Indonesia.

Untuk meningkatkan data-data domestik yang mengalami defisit, David mengatakan bahwa seharusnya iklim investasi di Indonesia harus dikondisikan, misalnya dengan mempermudah sistem birokrasi.

“Indonesia dari sisi peringkat kemudahan berbisnis sudah membaik, tadinya peringkatnya di atas 100, sekarang sudah 90-an, tapi tetap masih banyak yang perlu diperbaiki,” ungkap David.

Selain itu, pemerintah dapat memberi insentif berupa pajak, dan memangkas peraturan yang berbelit-belit dan saling bentrok antara di pusat dengan di daerah, serta “lempar-lemparan” yang perlu dibenahi agar investor dari luar berminat investasi di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Mutiara Nabila
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper