Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Review Kinerja: Meneropong Saham-saham Bank BUMN

Saat kinerja indeks sektor keuangan terkoreksi 1,33% sejak awal tahun hingga Senin (22/2/2016) dan indeks harga saham gabungan menanjak 2,52%, valuasi saham empat emiten perbankan milik pemerintah masih terbilang rendah.
Papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) terlihat dari kaca mata karyawan saat di Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Selasa (18/8). /Bisnis Abdullah Azzam
Papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) terlihat dari kaca mata karyawan saat di Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Selasa (18/8). /Bisnis Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Saat kinerja indeks sektor keuangan terkoreksi 1,33% sejak awal tahun hingga Senin (22/2/2016) dan indeks harga saham gabungan menanjak 2,52%, valuasi saham empat emiten perbankan milik pemerintah masih terbilang rendah.

Empat bank pelat merah yang tercatat di PT Bursa Efek Indonesia a.l. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN).

Pekan lalu, tekanan terhadap saham-saham perbankan badan usaha milik negara (BUMN) terbilang besar. Tiba-tiba saja saham-saham bank dengan kepemilikan mayoritas oleh pemerintah itu memerah, bertumbangan, dan anjlok.

Penyebabnya adalah keinginan pemerintah untuk memangkas margin bunga bersih (net interest margin/NIM) bank BUMN hingga ke level 3%.

Ternyata, pemerintah mendorong perbankan untuk meningkatkan efisiensi, salah satunya melalui penurunan suku bunga hingga ke single digit. Pasalnya, suku bunga pinjaman di Indonesia terbilang tinggi bila dibandingkan dengan negara lain.

Padahal, dalam situasi perlambatan ekonomi dunia, Indonesia perlu menurunkan tingkat bunga agar investasi meningkat, sehingga pertumbuhan ekonomi terkerek.

Pun begitu dengan insentif yang disiapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagi bank di Tanah Air yang mampu menekan biaya operasional atau overhead demi turunnya rasio beban operasioal terhadap pendapatan operasional (BOPO).

Meski sedikit, tekanan NIM bank pelat merah tentu bakal berpengaruh terhadap profitabilitas. Hal itu diartikan oleh investor untuk melepas saham-saham bank pelat merah.

Apabila ditelisik lebih dalam, analis PT DBS Vickers Securities Indonesia Lim Sue Lin, dalam riset yang dipublikasikan pada 19 Februari 2016, menyebutkan rasio harga saham terhadap laba (price to earning ratio/PE) bank BUMN pada tahun ini diproyeksi hanya sebesar 9,85 kali.

Proyeksi tersebut terus melorot dari 2014 sebesar 11,8 kali dan 2015 sebesar 11,6 kali. Proyeksi P/E tertinggi pada tahun ini masih digenggam oleh BBRI sebesar 10,5 kali dan terendah BBTN sebesar 8,7 kali.

Posisi P/E bank-bank BUMN juga terbilang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan indeks harga saham gabungan (IHSG). P/E Indeks mencapai 25,9 kali dengan P/E indeks finansial sebesar 12,91 kali dan indeks LQ-45 sebesar 18,80 kali.

Begitu pula dengan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) bank BUMN pada 2015 rerata mencapai 6,33% dengan NIM tertinggi pada BBRI sebesar 8,13% dan terendah BBTN 4,87%.

Lim menilai penerapan regulasi NIM oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga 4% untuk mendorong efisiensi dan daya saing perbankan akan berdampak negatif bagi bank-bank di Indonesia.

Meski fungsi intermediasi dijaga pada level 14% seperti harapan Bank Indonesia dan OJK, bakal sulit untuk mencapainya.

"Pengaturan NIM dilakukan, itu akan berdampak negatif terhadap bank BUMN yakni BMRI, BBNI, BMRI, dan BBTN. Pemerintah dapat memberlakukan kepada bank BUMN sebelum diterapkan ke perbankan lainnya," paparnya dalam riset yang dirilis belum lama ini.

Analis PT Buana Capital Suria Dharma dalam riset terpisah menyebutkan pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia alias BI Rate ke level 7% dan giro wajib minimum (GWM) diturunkan ke level 6,5% akan berdampak baik bagi ekonomi Indonesia.

Keputusan itu juga memberikan dampak positif bagi sejumlah sektor yang sensitif terhadap penurunan BI Rate seperti perbankan, properti, dan otomotif.

Penurunan BI Rate dan GWM memberikan likuiditas dan fleksibilitas bagi perbankan untuk menyesuaikan suku bunga dasar kredit dan mendorong pertumbuhan fungsi intermediasi.

Kebijakan tersebut diproyeksi dapat meningkatkan pertumbuhan kredit 150 basis poin dari 12,5% ke 14% pada 2016 senilai lebih dari Rp30 triliun
Tjandra Lienandjaja dan Priscilla Thany, analis PT Mandiri Sekuritas, dalam riset berbeda juga mengungkapkan hal senada.

Pengenduran kebijakan moneter oleh BI diperkirakan dapat menambah potensi likuiditas kredit hingga Rp36,2 triliun. Pemangkasan BI Rate dan GWM memang sesuai dengan prediksi Mansek dan konsensus.

"Kami percaya, dana akan lari ke pasar uang dan obligasi dalam jangka pendek karena adanya peralihan. Secara keseluruhan, kami perkirakan pertumbuhan kredit tahun ini sebesar 13%-15% dengan kemungkinan lebih tinggi dari 10,5% dari tahun sebelumnya," ungkapnya.

Review Kinerja: Meneropong Saham-saham Bank BUMN

KECUKUPAN MODAL

Sementara itu, kondisi perbankan di Indonesia masih terbilang sehat lantaran rasio permodalan (capital adequacy ratio/CAR) industri masih tinggi pada level 21,2% per akhir Desember 2015. Adapun, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) gross tercatat 2,5% dan NPL net 1,2%.

Mansek memperkirakan BI bakal kembali mengendurkan kebijakan moneter dengan pemangkasan BI Rate  25 bps ke level 6,75% pada paruh pertama tahun ini.

Pada saat yang sama, Mansek juga menilai tekanan terhadap NIM akan lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaat bagi perbankan. Selama ini, margin perbankan telah menyesuaikan dengan mekanisme pasar.

Tingginya NIM di perbankan Indonesia adalah mahalnya melakukan bisnis dengan biaya operasional serta risiko yang harus ditanggung. Sehingga, margin yang tinggi diperlukan bagi investor untuk memberikan suntikan pada industri padat modal tersebut.

Haris Wardhan Modi, analis J.P. Morgan Securities Singapore Private Limited., pada riset terpisah mengungkapkan tetap menahan peringkat underweight dengan P/E bagi BBRI di level 11,9 kali, BMRI 15,2 kali, dan BBNI 10,3 kali.

Padahal, J.P. Morgan menetapkan P/E sektor perbankan tahun ini sebesar 14,0 kali dengan P/BV sebesar 1,82 kali.

Khusus bagi BBRI, perolehan laba bersih tahun lalu lebih tinggi dari perkiraan J.P. Morgan. Kejutan terjadi pada peningkatan pendapatan bersih nonbunga 43% dan lebih rendahnya provisi 42% dari kuartal sebelumnya.

Suria juga menilai kinerja BBRI lebih baik ketimbang ekspektasi. Tahun ini, Buana Capital menetapkan P/E BBRI pada level 10,8 kali dari tahun sebelumnya 11,5 kali.

Analis PT Phillip Securities Indonesia Milka Mutara mengaku kecewa lantaran manajemen BBRI menetapkan target penyaluran kredit konservatif 13%-15% pada tahun ini.

Manajemen BBRI juga menetapkan laba bersih setelah pajak (net profit after tax/NPAT) hanya bertumbuh 3%-5% dari 5%, lebih rendah dua digit dari tahun lalu. NPL juga diproyeksi memburuk ke level 2,1%-2,4%.

Berkomentar terhadap kinerja BBNI, J.P. Morgan menilai perolehan laba bersih bank tersebut memang lebih tinggi dari proyeksi. Namun, J.P. Morgan tidak melihat pergerakan harga saham BBNI yang lebih berarti, kecuali sejumlah perdagangan jangka pendek.

Pada emiten yang sama, Mandiri Sekuritas menilai kinerja BBNI sesuai dengan ekspektasi dengan pertumbuhan kredit 17%, lebih tinggi dari rerata industri. Mansek menetapkan P/E BBNI pada tahun ini mencapai 8,1 kali dari tahun lalu 10,8 kali.

Tahun ini, manajemen BBNI menargetkan penyaluran kredit akan tumbuh 16%-18%, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 14%-16%, rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) mencapai 90%-92%, dengan NPL 2,3%-2,5% serta NIM lebih tinggi dari 6%.

Senada, Mansek juga memproyeksi kinerja pertumbuhan laba BBTN pada 2016-2017 bakal positif lantaran dukungan pemerintah pada subsidi perumahan, serta margin yang terjaga. Mansek memproyeksi pertumbuhan EPS BBTN mencapai 29% pada 2016 dan 19% tahun berikutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Sukirno
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Kamis (25/2/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper