Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KINERJA GIAA 2015: Efisiensi Jadi Kunci Laba Garuda Indonesia

Maskapai penerbangan pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. berhasil mengantongi laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk sebesar US$76,48 juta setara dengan Rp1,01 triliun (Kurs Rp13.300 per dolar AS) sepanjang periode 2015.
Pesawat Garuda Indonesia/JIBI-Nurul Hidayat
Pesawat Garuda Indonesia/JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA--Maskapai penerbangan pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. berhasil mengantongi laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk sebesar US$76,48 juta setara dengan Rp1,01 triliun (Kurs Rp13.300 per dolar AS) sepanjang periode 2015.

Perolehan tersebut melesat dari tahun sebelumnya yang masih membukukan rugi bersih US$338,43 juta setara dengan Rp4,5 triliun. Efisiensi dan melorotnya harga bahan bakar avtur menjadi kunci laba lonjakan laba bersih emiten berkode saham GIAA tersebut.

Direktur Keuangan Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra mengatakan total beban perseroan turun 13.07% menjadi US$3,73 miliar pada 2015 dari tahun sebelumnya US$4,29 miliar.

"Dari total biaya operasional, 60% dari biaya bahan bakar dan 40% dari biaya non fuel," ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (15/2/2016).

Sepanjang tahun lalu, pendapatan yang dikantongi Garuda terkoreksi 3% menjadi US$3,81 miliar dari tahun sebelumnya US$3,93 miliar. Pendapatan dari penerbangan berjadwal terkoreksi menjadi US$3,2 miliar dari US$3,38 miliar.

Kendati demikian, jumlah penumpang yang berhasil diangkut Garuda meningkat 9,3% year-on-year dari 21,5 juta penumpang menjadi 23,5 juta penumpang sepanjang tahun lalu.

Badan usaha milik negara (BUMN) penerbangan itu tahun lalu berhasil mengantongi laba bersih tahun berjalan senilai US$77,97 juta. Perolehan tersebut membaik dari rugi bersih yang dicatatkan perseroan pada periode 2014 senilai US$368,91 juta.

Analis PT Samuel Sekuritas Muhammad Alfatih mengatakan industri penerbangan memang masih mengalami kesulitan. Namun, capaian yang diperoleh Garuda Indonesia tahun lalu patut diapresiasi.

"Secara industri memang penerbangan masih bermasalah, dalam arti biaya BBM membaik turun, tapi pasar global umumnya sudah melambat karena ekonomi lambat. konsumen juga turun, tidak mudah," tuturnya secara terpisah.

Salah satu upaya yang tepat dilakukan oleh Garuda adalah reproviling utang sehingga beban bunga mampu diturunkan. Refinancing yang dilakukan GIAA pada tahun lalu menjadi salah satu jalan bagi efisiensi yang dapat dilakukan perusahaan penerbangan.

Pada tahun ini, Alfatih memproyeksi kinerja Garuda Indonesia akan bergantung pada faktor nilai tukar rupiah, harga minyak, dan efisiensi yang dilakukan perseroan. Kurs rupiah pada tahun ini akan lebih menguat dari tahun lalu.

Sementara dari sudut pertumbuhan ekonomi akan terjadi ada penguatan meskipun tidak terlalu besar. Membaiknya pertumbuhan ekonomi dapat berdampak positif terhadap peningkatan daya beli masyarakat.

"Harus hati-hati adanya kemungkinan harga minyak dunia menguat. Beban biaya agak kemungkinan bertambah di sana," katanya.

Pada tahun ini, manajemen Garuda Indonesia membidik pertumbuhan pendapatan sebesar 24% menjadi US$4,72 miliar dari tahun lalu. Pendapatan itu seiring dengan koreksi harga minyak dunia yang selama setahun terakhir telah terkoreksi 52,42%.

Penurunan harga minyak mentah dunia, kata pria yang akrab disapa Ari Askhara tersebut, tidak selalu sejalan dengan harga avtur dari Pertamina. Lantaran, harga avtur dijual dalam rupiah, dan dolar Amerika Serikat terus menguat.

Emiten berkode saham GIAA tersebut mematok ketahanan kurs rupiah hingga Rp15.000 per dolar AS pada tahun ini. Tahun lalu, perseroan mengantongi keuntungan selisih kurs sebesar US$15,21 juta, lebih tinggi dari tahun sebelumnya US$8,89 juta.

Sementara itu, maskapai penerbangan BUMN itu mengajukan anggaran belanja modal (capital expenditure/Capex) senilai US$160 juta setara dengan Rp2,22 triliun. Rencana anggaran belanja itu meningkat 23% dari tahun lalu Rp130 juta.

Rencana belanja modal tahun ini disebutkan paling besar untuk kebutuhan pembelian pesawat baru. Lebih dari 50% Capex digunakan bagi kebutuhan operasional, dan sisanya untuk membayar utang.

Ari Askhara menyebutkan pemesanan pesawat bakal dilakukan mulai tahun ini. Tetapi, pengiriman pesawat bakal mulai didatangkan pada 2020 mendatang.

Dia memerkirakan kebutuhan dana setidaknya US$5 miliar untuk memesan 100 armada baru. Perseroan akan mencari pinjaman dari pasar (obligasi) dan Export Credit Agency (ECA). "Mungkin lebih banyak dari ECA karena tenornya panjang," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Sukirno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper