Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RISIKO KEPAILITAN: Efek Berantai Perlambatan Ekonomi Global

Tanda-tanda perlambatan ekonomi global, khususnya di China, sepanjang awal tahun ini membawa pesimisme bagi perusa-haan Indonesia yang memiliki utang, terutama yang bergelut di sektor komoditas.
Berau Coal Energy Tbk. (BRAU) yang mengalami tekanan likuiditas dan masih harus melunasi obligasi jatuh tempo senilai US$450 juta pada tahun ini. /Bisnis.com
Berau Coal Energy Tbk. (BRAU) yang mengalami tekanan likuiditas dan masih harus melunasi obligasi jatuh tempo senilai US$450 juta pada tahun ini. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Tanda-tanda perlambatan ekonomi global, khususnya di China, sepanjang awal tahun ini  membawa pesimisme bagi perusa-haan Indonesia yang memiliki utang, terutama yang bergelut di sektor komoditas.

Mungkin ada baiknya sejenak bernostalgia. Tentu masih lekat di ingatan bagaimana krisis ekonomi global pada 2008 telah membuat PT Humpuss Intermoda Transportasi Tbk. dan sejumlah perusahaan kapal lainnya terpuruk.

Sejak berdiri pada 1986, Humpuss dan anak perusahaannya merupakan salah satu pemain utama penyedia angkutan laut dengan bisnis utama di bidang liquefied natural gas (LNG) dan petrokimia di Tanah Air.

Berawal dari sebuah divisi LNG dari PT Humpuss, perseroan membangun kapal pertamanya Ekaputra di tahun 1986. Dengan kapasitas 78.988 DWT, Ekaputra diklaim merupakan kapal LNG terbesar di dunia saat itu.

Seiring keinginan untuk mengembangkan sayap bisnisnya, perusahaan yang dimiliki Hutomo Mandala Putra alias Tommy Suharto ini melakukan pembelian angkutan bulk carrier dan chemical carrier  yang di luar bisnis inti perseroan selama ini.

Perseroan melakukan sewa beli dengan Parbulk dari Norwegia sebanyak 1 unit panamax dengan kapasitas 70.002 DWT (Deadweight Tonnage), 7 unit kapal tanker kimia cair yang terdiri dari 4 unit kapal berukuran 17.500 DWT dan 3 unit kapal berukuran 25.000 DWT dengan Empire asal Yunani, serta dengan Hanjin dari Korea Selatan sebanyak 1 unit panamax dengan ukuran 73.000 DWT.

Pada 2008, ketika ekonomi global bergejolak, industri pelayaran di Tanah Air juga terkena dampak. Harga sewa kapal di pasar turun drastis menjadi hanya sekitar sepertiga dari angsuran yang harus dibayar.

Akibatnya, pada 2009, seluruh kapal-kapal yang disewa dengan opsi beli pada akhir masa sewa dikembalikan kepada para pemiliknya masing-masing sebelum periode kontrak berakhir.

Cerita tentang Humpuss atau perusahaan kapal lainnya kala itu bisa saja kembali terulang seiring belum membaiknya kondisi ekonomi dunia saat ini, termasuk masih
melambatnya perekonomian China.

Joel Hogarth, partner dari kantor hukum Ashurst, mengatakan dampak negatif perlambatan ekonomi China menular ke perusahaan di Indonesia lewat koreksi harga komoditas. Seperti diketahui, permintaan batu bara dari Negeri Panda itu belum pulih hingga saat ini.

“Kondisi ini memukul pihak-pihak yang selama ini menawarkan jasanya pada mereka [perusahaan di sektor komoditas], termasuk perusahaan perkapalan dan logistik,” ujarnya dalam  Debtwire Indonesia Restructuring Roundtable  di Jakarta, Kamis (5/1).

Melambatnya perekonomian China memaksa perusahaan-perusahaan Indonesia, terutama yang bergerak di komoditas, meng-ambil pinjaman berisiko tinggi agar tetap beroperasi. Padahal, beban keuangan yang besar membuat profitabilitas perusahaan semakin tertekan. Ekspansi perusahaan pun dilaku-kan terbatas.

Lembaga pemeringkat Moody’s telah menetapkan outlook negatif terhadap industri batu bara di Asia tahun ini. O utlook tersebut mencerminkan perusahaan batu bara harus berusaha keras agar tetap menghasilkan arus kas positif di tengah pelemahan harga komoditas.

Harga batu bara pun masih sulit bangkit karena harga minyak saat ini masih berada dalam tren negatif di bawah US$50 per barel, separuh dari harga pada pertengahan tahun lalu.

Moody’s menjelaskan pasokan batu bara yang berlebihan akan membuat harga tetap rendah sepanjang tahun ini. Hal ini menyulitkan perusahaan untuk menghasilkan cash flow.

Kondisi ini juga berdampak pada perusa-haan di sektor lain, seperti pelayaran atau logistik. Reza Nugraha, analis PT MNC Securities, mengakui kinerja emiten pelayaran saat ini sudah mengalami penurunan karena terbebani utang yang besar. “Apalagi untuk kapal pengangkut batu bara dan tanker,” katanya.

Sejumlah emiten pelayaran dalam negeri, lanjut Reza, berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Ketatnya persaingan dengan perusahaan asing membuat mereka makin
kesulitan mempertahankan laba.

Berdasarkan catatan Bisnis.com, walaupun kondisi industri sedang tidak kondusif, beberapa emiten pelayaran masih menggelontorkan dana besar untuk ekspansi.

PT Logindo Samudramakmur Tbk. (LEAD), misalnya, baru saja menerbitkan obligasi Sin$50 juta untuk membiayai pembelian kapal. Sementara itu, Humpuss Intermoda Transportasi tengah menjajaki pinjaman Rp2,96 triliun untuk memenuhi belanja modal sekitar Rp3,7 triliun pada tahun ini.

Belajar dari pengalaman lalu, Presiden Direktur Humpuss Theo Lekatompessy menilai dalam pengembangan sebuah bisnis, faktor-faktor eksternal yang terkadang muncul di luar dugaan harus tetap diperhitungkan.

Misalnya, ketika larangan ekspor barang tambang mentah diterapkan yang merupakan 20% dari total pengangkutan perseroan, maka 18 kapal yang kurang produktif mulai dialihkan ke pengangkutan bagi industri semen yang terus tumbuh stabil. “Kami lebih berhati-hati saat ini. Setiap faktor harus diperhitungkan secara matang,” ungkapnya kepada Bisnis belum lama ini.

Bertie Mehigan, partner dari kantor hukum Ashurst, menilai tren pelemahan harga komoditas saat ini cukup berbahaya karena risiko masih tinggi. “Semakin lama harga komoditas berada di titik rendah, semakin sulit bagi mereka [perusahaan di Indonesia] untuk membayar utangnya,” ungkapnya.

Namun, sejumlah emiten mulai mengambil langkah antisipatif untuk menghadapi situasi itu dengan memangkas belanja modal dan menahan ekspansinya tahun ini untuk menjaga arus kas dan profitabilitas.

Perusahaan batu bara PT Adaro Energy Tbk. (ADRO), misalnya, hanya menyiapkan belanja modal US$75 juta–US$125 juta pada tahun ini, atau lebih rendah dibandingkan alokasi pada tahun lalu senilai US$25 0 juta.

Ada juga perusahaan batu bara yang masih harus berjuang keras untuk keluar dari lilitan utang jatuh tempo. Sebut saja PT Berau Coal Energy Tbk. (BRAU) yang mengalami tekanan likuiditas dan masih harus melunasi obligasi jatuh tempo senilai US$450 juta pada tahun ini.

Padahal, jika merujuk pada laporan keu-angan perseroan, kas internal Berau tercatat hanya US$297,35 juta. Adapun, liabilitas perseroan menyentuh US$1,9 miliar, melampaui nilai aset yang sekitar US$1,87 miliar.

Di luar kedua perusahaan ini, sejumlah perusahaan batu bara di Kalimantan harus tutup usaha karena tidak mampu bertahan dari tekanan yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

SKENARIO TERBURUK

Dengan kondisi seperti saat ini ini, Hogarth mengharapkan perusahaan di Indonesia menyiapkan diri menghadapi skenario terburuk, yakni kepailitan dan meningkatnya tekanan dalam restrukturisasi utang.

“Hukum insolvensi di Indonesia sangat berbeda dengan di negara lain dan mengikuti sistem hukum sipil, bukan common law,” tuturnya. Hogarth menjelaskan perbe-daan ini menjadi tantangan tersendiri dalam melakukan restrukturisasi.

Dalam PKPU, debitur memiliki waktu 45 hari untuk menyampaikan proposal perdamaian kepada para kreditur. Jika rencana perdamaian ditolak dan hakim tidak mau memberikan perpanjangan waktu, maka debitur bisa dinyatakan pailit.

Adapun, dalam perkara kepailitan, tidak ada masa negosiasi antara kreditur dan debitur atau perpanjangan waktu seperti dalam pertandingan sepak bola. Jika utang terbukti seluruhnya, maka perusahaan itu dinyatakan pailit.

Selain itu, jangan lupakan pula tekanan yang dialami rupiah. Sejak akhir tahun lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terpuruk. Bagi emiten yang berpendapatan rupiah dan memiliki utang dalam valas, hal ini tentunya akan kian memberatkan.

Lembaga riset Ebury memperkirakan nilai tukar rupiah dapat menyentuh level Rp12.750 per dolar AS pada akhir kuartal I/2015, sedangkan hingga akhir tahun ini diyakini dapat mencapai Rp13.500 per dolar AS.

Pesimisme ini muncul karena pada Desember 2014, the Fed mengirimkan sinyal bahwa suku bunga akan dinaikkan pada tahun ini, setelah selama ini lebih memilih menggunakan frasa “considerable time” dalam kebijakan moneternya.

Hal ini memicu aksi jual di negara emerging market dan semakin memperjelas perbedaan negara mana yang berisiko dan sangat berisiko. Indonesia, seperti dikutip dalam riset itu, dianggap sebagai negara yang cukup berisiko.

Indonesia dinilai terlalu bergantung pada komoditas, khususnya batu bara, metal, dan karet, yang saat ini tercatat berkontribusi sekitar 60% dari keseluruhan ekspor negara ini.

Pesimisme ini bukan bermaksud menakut-nakuti. Namun, ada baiknya jika semua pemegang kepentingan, baik itu pemerintah maupun swasta, menyiapkan diri menghadapi setiap skenario terburuk yang bisa terjadi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Jumat (6/2/2015)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper