Bisnis.com, JAKARTA - PT Kimia Farma (Persero) Tbk. (KAEF) memangkas kebutuhan belanja modal tahun ini menjadi hanya Rp100 miliar hingga Rp200 miliar dari rencana semula Rp660 miliar.
Hal itu membuat perseroan dapat menunda rencana penerbitan obligasi senilai Rp1 triliun yang sedianya dilakukan tahun ini.
Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Djoko Rusdianto mengatakan pemangkasan belanja modal (capital expenditure/capex) itu dilakukan karena perseroan menunda rencana pembangunan pabrik baru dan rumah sakit yang rencananya dibangun tahun ini.
Awalnya, perseroan berencana membangun pabrik baru di Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang akan memproduksi obat, salep, krim, dan onkologi (obat kanker). Pabrik itu diharapkan dapat memenuhi kualifikasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Namun, hingga saat ini, perseroan belum memproses izin pembangunan pabrik dan rumah sakit itu, sehingga rencana itu kemungkinan besar baru dapat dilakukan tahun lalu.
“Berkurangnya kebutuhan dana tahun ini membuat kami menunda rencana obligasi karena dinilai tidak terlalu mendesak. Pasar juga sedang tidak bagus saat ini,” ujarnya kepada Bisnis, di sela-sela penandatanganan nota kerja sama antara BUMN dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat di Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (30/9/2013).
Adapun, dana belanja modal tahun ini digunakan untuk membangun 150 apotek dan akuisisi lahan. Dana tersebut berasal dari kas internal perseroan.
Untuk pendanaan pengembangan bisnis tahun depan, Kimia Farma telah menyiapkan sejumlah opsi seperti penerbitan saham baru (rights issue), emisi obligasi, dan pinjaman perbankan, selain menggunakan dana dari kas internal,
“Kami masih mengkaji antara tiga opsi itu [rights issue, obligasi, atau pinjaman perbankan], terutama yang paling murah dan bisa diperlukan dalam waktu dekat ini. Kemungkinan arahnya ke obligasi dan pinjaman, karena rights issue memerlukan waktu yang cukup lama,” ujarnya.
Kimia Farma tengah bernegosiasi dengan tiga bank untuk memperoleh kredit, yakni Bank Mandiri, Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, dan Bank OCBC NISP.
“Bunga yang ditawarkan sejumlah bank lebih rendah di bawah dua digit, bahkan mereka siap memberi pinjaman Rp1 triliun. Namun, kami ingin ada bank BUMN karena Kimia Farma juga kan BUMN,” katanya.
Kimia Farma harus mencari pinjaman atau obligasi karena belum mendapatkan izin penerbitan saham baru dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
DPR mensyaratkan rights issue bisa dilakukan setelah penyatuan (regrouping) Kimia Farma dan PT Indofarma (Persero) Tbk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel