Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengintip Strategi Ekspansi Indika Energy (INDY) Tahun Ini

Indika Energy siap memacu ekspor bau bara ke berbagai negara termasuk China, Korea Selatan, Jepang, India, dan Italia. Tidak menutup kemungkinan, perusahaan bakal menyasar pasar ekspor baru yang potensial.
Indika Energy (INDY).
Indika Energy (INDY).

Bisnis.com, JAKARTA - Sebagai emiten produsen batu bara ketiga terbesar di Indonesia, PT Indika Energy Tbk. (INDY) memiliki catatan kinerja apik sepanjang tahun ini. Bagaimana rencana ekspansi dan prospek sahamnya pada 2019?

Managing Director & Chief Executive Officer Indika Energy Azis Armand menyampaikan, pengaruh permintaan, perekonomian global, hingga politik dagang berpeluang memengaruhi pasar batu bara pada 2019. China sebagai importir batu bara terbesar di dunia juga berperan penting menentukan harga global. Di dalam negeri, batu bara diperkirakan juga masih akan mendominasi campuran bahan bakar.

“Menghadapi hal ini, Indika Energy memilih untuk fokus pada faktor internal dengan terus mengoptimalkan produksi batu bara dan efi siensi operasional perusahaan,” tuturnya kepada Bisnis, Jumat (7/12).

PT Kideco Jaya Agung masih menjadi motor utama pemasukan INDY. Tahun depan, target produksi batu bara Kideco masih sama seperti 2018, yakni 34 juta ton.

Adapun, produksi anak usaha lainnya yang memiliki aset batu bara kalori tinggi, PT Multi Tambangjaya Utama (MUTU), akan mengikuti persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB). Tahun ini, produksi MUTU diperkirakan mencapai 1,3 juta ton.

Azis menyampaikan, negara-negara target ekspor Indika Energy beragam termasuk China, Korea Selatan, Jepang, India, dan Italia. Tidak menutup kemungkinan, perusahaan bakal menyasar pasar ekspor baru yang potensial.

Per September 2018, Kideco menjual batu bara sejumlah 26,1 juta ton. Komposisi pasarnya ialah Indonesia sebesar 29%, China 32%, Korea Selatan 11%, India 9%, Asean 8%, Taiwan 5%, Jepang 3%, dan negara-negara lainnya 3%.

Perusahaan juga akan memacu kinerja anak usaha di sektor jasa, yakni PT Petrosea Tbk. (PTRO). Pada 2019, perusahaan akan meningkatkan target pengupasan overburden (OB) 137 juta bank cubic meter (bcm), atau naik 21,24% year-on-year (yoy).

Tahun ini, volume pengupasan OB diperkirakan sebesar 113 juta bcm. Per September 2018, volume OB Petrosea sejumlah menjadi 89,22 bcm, atau mencapai 78,95% dari target setahun penuh.

Sepanjang tahun berjalan, PTRO mengantongi kontrak senilai US$874 juta. Menurut Azis, pada 2019 Petrosea bakal fokus pada ketiga proyek yang saat ini sedang beroperasi yaitu di Kideco, Binuang, dan Tabang.

Selain dari PTRO, Grup INDY juga memiliki sejumlah kontrak dari anak usaha lainnya seperti perusahaan energi PT Tripatra senilai US$477,4 juta, dan perusahaan perkapalan PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk. (MBSS) sejumlah US$125,3 juta. Total kontrak secara konsolidasi US$1,47 miliar.

Per September 2018, INDY membukukan pendapatan senilai US$2,18 miliar, melonjak 213,9% yoy dari sebelumnya Rp694,7 juta. Adapun, laba bersih mencapai US$112,2 juta, naik 37,9% yoy dari sebelumnya US$81,4 juta.

Kontribusi pendapatan masing-masing anak usaha ialah Kideco senilai US$1,41 miliar, Indika Resources (yang menaungi MUTU) US$281,2 juta, PTRO US$301,8 juta, Tripatra US$184,8 juta, MBSS US$51,8 juta, dan lain-lain US$35,2 juta.

DIVERSIFIKASI BISNIS

Sebagai perusahaan investasi yang terdiversifi - kasi, Indika Energy juga terbuka terhadap peluang di luar sektor batu bara. Namun, perusahaan akan tetap mempertahankan keunggulan dan kompetensi utama di bidang energi dan pertambangan.

Pada sektor kelistrikan misalnya, perusahaan memiliki 20% saham di PLTU Cirebon Electric Power (CEP) berkapasitas 660 MW. Per September 2018, CEP berkontribusi US$4,8 juta terhadap laba INDY. Selain itu, CEP menyerap 1,6 juta ton batu bara Kideco setiap tahun.

Direktur Utama Indika Energy Arsjad Rasjid menuturkan, dalam 5 tahun ke depan, perusahaan menyasar pendapatan dari sektor nonbatu bara mencapai 25%. Dengan demikian, INDY tidak bergantung pada satu lini bisnis, sekaligus dapat membagi porsi risiko.

Sejumlah sektor bisnis non-batu bara yang akan dan sudah dijalankan INDY di antaranya ialah jasa logistik, jasa migas, serta energi baru dan terbarukan (EBT).

Namun demikian, kendati memiliki kinerja dan prospek yang terbilang positif, saham INDY cenderung melesu. Pada penutupan perdagangan Jumat (7/12) harga menurun 1,73% menjadi Rp1.985.

Harga terkoreksi 35,13% sepanjang tahun berjalan. Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang mengatakan, pada 2019 sektor batu bara diperkirakan masih apik. Salah satu saham pilihannya ialah INDY dengan target harga Rp3.300.

 “Sebetulnya valuasi INDY paling murah di antara saham batu bara yang prospektif lainnya, tetapi terlihat lambat untuk menanjak.”

Valuasi saham yang ditunjukkan oleh price to earning ratio ialah 4,63 kali, dan price to book value 0,6 kali dengan kapitalisasi saham mencapai Rp10,34 triliun.

 Adapun, analis Trimegah Sekuritas Willnoy Sitorus seperti dikutip dari Bloomberg memberikan rekomendasi netral terhadap saham INDY. Target harganya ialah Rp2.000.

 Jadi, dengan posisi sebagai emiten produsen batu bara terbesar ketiga di Indonesia, prospek pertumbuhan kinerja yang positif, dan valuasi saham yang murah, apakah sahamnya dapat membaik pada 2019?

*Artikel ini telah diterbitkan dalam koran Bisnis Indonesia edisi 10 Desember 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper