Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Minyak Anjlok Nyaris 8% Meski OPEC Berencana Pangkas Produksi

Harga minyak merosot hampir 8% ke level terendah dalam setahun dan mencatatkan penurunan selama tujuh pekan beruntun di tengah kekhawatiran akan kelebihan pasokan meskipun sejumlah produsen utama sedang mempertimbangkan akan memangkas pasokan.
/Ilustrasi
/Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak merosot hampir 8% ke level terendah dalam setahun dan mencatatkan penurunan selama tujuh pekan beruntun di tengah kekhawatiran akan kelebihan pasokan meskipun sejumlah produsen utama sedang mempertimbangkan akan memangkas pasokan.

Pasokan minyak mentah, yang pertumbuhannya dipimpin oleh Amerika Serikat, bertumbuh lebih cepat dari jumlah permintaan. Untuk mencegah harga minyak mentah anjlok tajam seperti pada 2015, Organisasi Negara-negara Pengkespor Minyak (OPEC) diperkirakan akan mulai memangkas produksi setelah pertemuan pada 6 Desember mendatang.

Namun, rencana tersebut tidak memberikan efek apapun untuk menaikkan harga, yang sudah turun lebih dari 20% sepanjang November dan membukukan penurunan selama tujuh pekan berturut-turut.

Harga minyak mentah saat ini juga dalam jalurnya mengalami penurunan bulanan terbanyak sejak 2014.

Selain itu, perang dagang antara AS dan China yang kian memanas juga memberikan tekanan pada harga minyak mentah, mengingat kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut juga merupakan konsumen terbesar minyak bumi.

Analis Price Futures Group Chicago Phill Flynn mengatakan bahwa pemberian harga di pasar sedang tertekan oleh perlambatan ekonomi. Pasar mengantisipasi kalau pembicaraan dagang AS dan China tidak akan berjalan baik.

Pekan ini, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping diperkirakan akan mengadakan pertemuan dan membicarakan soal perdagangan bersamaan dengan pertemuan negara-negara anggota Group of 20 (G20) di Buenos Aires.

“Pasar tidak percaya bahwa OPEC bisa bereaksi cepat untuk mengimbangi perlambatan ekonomi dan permintaan di masa mendatang,” ungkap Flynn, dilansir dari Reuters, Minggu (25/11).

Pada pentupan perdagangan Jumat (23/11) harga minyak Brent terseret turun 3,80 poin atau 6,07% menjadi US$58,80 per barel dan mengalami penurunan secara year-to-date (ytd) hingga 12,07%. Harga tersebut merupakan yang terendah sejak Oktober 2017 di kisaran US$49 per barel.

Adapun, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) mengalami penurunan 4,21 poin atau 7,71% menjadi US$50,42 per barel dan membukukan penurunan selama 2018 berjalan hingga 16,55%.
Dalam sepekan, harga minyak Brent tercatat turun 11,3% dan WTI turun 10,8%.

Jumlah penurunan tersebut membuat harga minyak mencatatkan penurunan sepakan terbesar sejak Januari 2016.

Kekhawatiran pasar akan pelemahan permintaan semakin besar setelah China melaporkan bahwa ekspor bensinnya mencapai yang terendah dalam lebih dari setahun karena jumlah pasokan bahan bakar di Asia dan global membeludak.

Cadangan bensin di seluruh Asia mengalami lonjakan, dengan cadangan di Singapura naik hingga level tertinggi selama tiga bulan, sedangkan cadangan dari Jepang ikut naik pada pekan lalu. Cadangan minyak di AS juga naik sekitar 7% lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Produksi minyak mentah secara global juga meluap sepanjang tahun ini. International Energy Agency (IEA) memperkirakan anggota non-OPEC akan menaikkan produksi hingga 2,3 juta barel per hari pada tahun ini dengan permintaan diperirkirakan hanya naik 1,3 juta barel per hari.

Untuk menyesuaikan penurunan permintaan, pengekspor minyak mentah teratas Arab Saudi mengatakan bahwa kemungkinan Negeri Raja Minyak itu akan mendorong OPEC untuk menyepakati aturan pemangkasan produksi hingga 1,4 juta barel per hari.

Namun, Trump juga memperjelas bahwa dirinya tidak ingin harga minyak naik dan banyak analis yang berpikir bahwa Arab Saudi juga akan mendapat tekanan dari AS jika memaksa anggota OPEC lain untuk menurunkan produksi.

“Kami berekspektasi bahwa OPEC baru bisa mengatur pasar pada 2019 dan menilai kemungkinan pelaksanaan kesepakatan pemangkasan produksi pada 2/3 2019.

Dengan skenario tersebut, harga Brent berpotensi kembali ke US$70 per barel,” papar Martijn Rats dan Amy Sergeant, ahli strategi komoditas Morgan Stanley.

Analis Riset ForexTime (FXTM) Lukman Otunuga memproyeksikan bahwa jika OPEC tidak melakukan pemangkasan produksi, harga minyak Brent bisa semakin anjlok lagi dan berpotensi menyentuj US$50 per barel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Mutiara Nabila
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper