Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Volatilitas Pasar Tinggi, Saham Lapis Kedua Lebih Stabil

Kinerja emiten-emiten berkapitalisasi pasar kecil dan menengah di pasar modal sepanjang tahun ini relatif lebih stabil dibandingkan emiten-emiten besar. Namun, setelah koreksi berkepanjang pada IHSG, potensi penguatan emiten besar justru akan lebih tinggi.
Siluet pengunjung mengamati layar informasi IHSG, di gedung Bursa Efek Indonesia Jakarta, Senin (17/9/2018)./JIBI-Dwi Prasetya
Siluet pengunjung mengamati layar informasi IHSG, di gedung Bursa Efek Indonesia Jakarta, Senin (17/9/2018)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA—Kinerja emiten-emiten berkapitalisasi pasar kecil dan menengah di pasar modal sepanjang tahun ini relatif lebih stabil dibandingkan emiten-emiten besar. Namun, setelah koreksi berkepanjang pada IHSG, potensi penguatan emiten besar justru akan lebih tinggi.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, kinerja indeks emiten-emiten berkapitalisasi pasar kecil menengah atau IDX SMC Composite sepanjang tahun berjalan hanya turun 1,47%. Tingkat koreksi ini jauh lebih kecil bila dibandingkan penurunan IHSG yang mencapai 8,42% atau indeks LQ45 yang turun  15,23%.

Untuk periode Agustus 2018 hingga Januari 2019, ada 336 emiten yang menjadi penghuni indeks IDX SMC Composite ini dengan tingkat kapitalisasi pasar antara Rp1 triliun hingga Rp50 triliun.

Valdy Kurniawan, Analis Phintraco Sekuritas, mengatakan bahwa ada dua kemungkinan penyebab fenomena ini. Pertama, persebaran kepemilikan investor pada saham-saham kecil dan menengah ini tidak seluas saham-saham besar atau blue chip.

Ini menyebabkan respon pasar terhadap sentimen negatif global dan domestik tidak terlalu tercemin pada pergerakan saham-saham kecil menengah ini.

Kedua, ketika pasar cenderung takut, sejumlah investor cenderung lebih memburu saham-saham yang harganya terlalu murah atau undervalue dan memiliki outlook positif. Ini terkait dengan teori behavioral finance.

“Di sinilah saham-saham lapis kedua dan ketiga yang sebelumnya luput dari pantauan investor mulai dicermati apakah undervalue dan memiliki kinerja serta outlook positif,” katanya, Rabu (10/8).

Jason Nasrial, Vice President Research Royal Investium Sekuritas, mengatakan bahwa stabilnya kinerja saham-saham IDX SMC Composite terutama disebabkan karena indeks ini dan emiten-emitennya tidak masuk dalam bobot perhitungan oleh banyak lembaga investasi asing dan lokal.

Berbeda dibandingkan saham-saham blue chip, emiten-emiten kecil dan menengah umumnya kurang likuid di pasar sehingga cenderung dihindari. Ketika outflow terjadi, dana-dana tersebut keluar dari emiten besar, sedangkan emiten kecil dan menengah relatif tidak terimbas.

Meskipun demikian, Jason menilai sebenarnya masih cukup banyak emiten dari kelompok kapitalisasi pasar kecil menengah yang berkinerja baik dari segi fundamentalnya.

“Justru karena bobotnya kecil atau bahkan nyaris tidak ada di dalam portofolio fund asing yang besar maupun lokal, sebenarnya dengan memasukkan 1 atau 2 small medium cap companies salah satu strategi untuk mitigasi risiko portofolio,” katanya, Rabu (10/8).

Jason menilai, saham-saham seperti SRIL, INCO, SMSM, BNLI dan BBKP cukup menarik dan berkinerja cukup positif. Menurutnya, di tengah pelemahan kurs, emiten kecil menengah yang berorientasi ekspor cukup menarik.

Kiswoyo Adi Joe, Kepala Riset Narada Kapital Indonesia, mengatakan bahwa di saat pasar kini sudah terkoreksi cukup dalam, dirinya tidak lagi merekomendasikan investor untuk masuk di emiten-emiten berkapitalisasi pasar kecil dan menengah.

Menurutnya, saat ini IHSG sudah relatif murah di level 5821, dengan tingkat PE ratio 12,7 kali. Padahal, dalam 10 tahun terakhir, PE ratio rata-rata IHSG berada di level 15 kali. Dirinya menilai, ruang untuk penurunan lebih dalam sudah sangat terbatas.

Kiswoyo menilai, asalkan nilai tukar rupiah bisa kembali stabil, IHSG dapat kembali bergerak meningkat hingga ke level 6500 hingga akhir tahun ini, yang mana mencerminkan PE ratio sekitar 14 – 15 kali.

“Kalau nanti IHSG naik, yang akan naik duluan adalah yang blue chip. Kebetulan sekarang blue chip ini sedang murah-murahnya, sehingga saya lebih merekomendasikan kini saatnya beli blue chip,” katanya.

Menurutnya, saham-saham seperti BBRI, BBNI, BMRI, TLKM dan UNVR sudah layak untuk mulai dibeli, sebab harganya sudah tergolong murah, sedangkan fundamentalnya sangat baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Riendy Astria
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper