Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dolar Menguat, Rupiah Tertekan Bersama Mata Uang Asia

Tekanan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah belum juga berkesudahan pada perdagangan hari ketujuh berturut-turut, Selasa (9/10/2018), di tengah pelemahan mayoritas mata uang di Asia.
Ilustrasi/ANTARA-Puspa Perwitasari
Ilustrasi/ANTARA-Puspa Perwitasari

Bisnis.com, JAKARTA — Tekanan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah belum juga berkesudahan pada perdagangan hari ketujuh berturut-turut, Selasa (9/10/2018), di tengah pelemahan mayoritas mata uang di Asia.

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot berakhir melemah 20 poin atau 0,13% di level Rp15.238 per dolar AS. Sepanjang perdagangan hari ini, rupiah bergerak fluktuatif pada level Rp15.222 – Rp15.284 per dolar AS.

Rupiah mulai melanjutkan pelemahannya ketika dibuka dengan pelemahan tipis 5 poin atau 0,03% di Rp15.223 per dolar AS, setelah berakhir melemah 35 poin atau 0,23% di level 15.218 pada perdagangan Senin (8/10).

Pelemahan mata uang Garuda pun bertambah menjadi 335 poin sejak mampu ditutup terapresiasi di level Rp14.903 per dolar AS pada perdagangan Jumat (28/9/2018).

Namun rupiah tak sendiri. Mata uang lainnya di Asia mayoritas juga tertekan, dipimpin baht Thailand dan rupee India masing-masing sebesar 0,46% dan 0,41% pada pukul 18.05 WIB. Di sisi lain, nilai tukar yen memperpanjang apresiasinya untuk hari keempat.

Sementara itu, indeks dolar AS yang melacak kekuatan greenback terhadap sejumlah mata uang utama terpantau menguat 0,290 poin atau 0,30% ke level 96,051 pada pukul 17.55 WIB.

Indeks dolar sebelumnya dibuka stagnan di level 95,761, setelah pada perdagangan Senin (8/10) berakhir dengan kenaikan 0,14% atau 0,137 poin di posisi 95,761. Adapun imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun mencapai 3,25%, level tertinggi dalam tujuh tahun.

Dilansir Bloomberg, mata uang di Asia melemah saat meningkatnya imbal hasil obligasi AS mengurangi daya tarik aset-aset negara berkembang dan pasar mencermati memanasnya hubungan antara AS dan China.

Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump disebut-sebut prihatin dengan depresiasi mata uang yuan China dan mempertimbangkan apakah akan menamai China sebagai manipulator mata uang dalam laporan yang akan dirilis pekan depan.

Menambah sentimen negatif, Dana Moneter Internasional (IMF), merujuk pada meningkatnya tensi perdagangan dan tekanan pada pasar negara berkembang (emerging market), memangkas proyeksi pertumbuhan global, pertama kalinya sejak Juli 2016, untuk tahun ini dan tahun depan.

“China dan obligasi AS tetap menjadi fokus utama untuk valas emerging market, dan dengan negosiasi AS-China yang tak pasti kemungkinan besar akan terjadi lebih banyak tekanan ke bawah pada mata uang Asia,” ujar Stephen Innes, kepala perdagangan untuk Asia Pasifik, dalam risetnya, seperti dikutip Bloomberg.

Pelemahan nilai tukar rupiah sendiri dinyatakan dapat dikendalikan. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) akan berupaya untuk mempertahankan perekonomian.

“Kita harus hati-hati memantau level ini,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani. “Namun saya juga melihat bahwa penyesuaian dalam ekonomi kita terhadap tingkat normalisasi kebijakan moneter AS, yang mempengaruhi nilai rupiah, dapat berjalan cukup baik.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper