Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PENERBITAN OBLIGASI KORPORASI: Daya Serap Pasar Mulai Melemah

Daya serap pasar perdana dinilai sebagai tantangan yang harus dihadapi korporasi yang hendak menerbitkan obligasi pada sisa tahun ini.
CEO PT Federal International Finance (FIF) Margono Tanuwijaya (kanan), bersama Komisaris Utama Suparno Djasmin (kedua kanan), Direktur PT Astra International Tbk. Gita Tiffany Boer (kedua kiri) dan Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia Inarno Djajadi menekan layar sentuh sebagai tanda peluncuran obligasi senilai Rp1,3 triliun di Jakarta, Rabu (26/9/2018)./JIBI-Dedi Gunawan
CEO PT Federal International Finance (FIF) Margono Tanuwijaya (kanan), bersama Komisaris Utama Suparno Djasmin (kedua kanan), Direktur PT Astra International Tbk. Gita Tiffany Boer (kedua kiri) dan Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia Inarno Djajadi menekan layar sentuh sebagai tanda peluncuran obligasi senilai Rp1,3 triliun di Jakarta, Rabu (26/9/2018)./JIBI-Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA— Daya serap pasar perdana dinilai sebagai tantangan yang harus dihadapi korporasi yang hendak menerbitkan obligasi pada sisa tahun ini.

Berdasarkan catatan Bisnis.com, ada sejumlah perusahaan yang obligasinya tidak terserap penuh oleh pasar sepanjang semester II/2018. Mereka adalah PT Medco Energi Internasional Tbk. (MEDC), PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT), PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), dan PT Federal International Finance (FIF).

Secara detail, obligasi yang ditawarkan MEDC terserap Rp1,2 triliun dari target Rp1,25 triliun. Kemudian, dalam masa penawaran awal, obligasi berkelanjutan III milik Waskita Karya tercatat terserap Rp1,3 triliun dari target Rp2 triliun. Obligasi tersebut rencananya akan dicatatkan di bursa pada 1 Oktober 2018.

Adapun, obligasi berkelanjutan II Bank CIMB yang diterbitkan BNGA terserap Rp1,02 triliun dari target Rp1,25 triliun.

Sementara itu, berdasarkan data yang dikutip dari laman Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (25/9), PLN mengajukan permohonan untuk pencatatan Obligasi Berkelanjutan III PLN Tahap II Tahun 2018 senilai Rp832 miliar. Dalam penawaran awal, perseroan setrum milik negara itu membidik dana sebanyak-banyaknya dari obligasi senilai Rp1,5 triliun. Proses penawaran awal atau bookbuilding telah dilakukan pada 30 Agustus 2018 sampai dengan 13 September 2018. Pencatatan akan dilakukan di BEI pada 11 Oktober 2018.

Teranyar, Obligasi milik FIF dengan nama Obligasi Berkelanjutan III Federal International Finance Tahap IV Tahun 2018 hanya mampu terserap Rp1,3 triliun dari target Rp1,5 triliun.

Direktur Keuangan PT Federal International Finance Hugeng Gozali menjelaskan bahwa pada awalnya perseroan menargetkan nilai obligasi mencapai Rp1,5 triliun. Namun, karena daya serap yang rendah, nilai yang berhasil dihimpun hanya Rp1,3 triliun. "Itu sudah maksimal dari investor. Dana itu juga sudah bisa mencukupi kebutuhan kami dari penerbitan obligasi ini," kilah Hugeng di Jakarta, Rabu (26/9).

Anak usaha PT Astra International Tbk. bisa dibilang masih beruntung lantaran dana yang berhasil dihimpun mampu menembus Rp1 triliun.

Direktur Danareksa Sekuritas Boumediene Sihombing selaku underwriter obligasi FIF mengatakan bahwa saat ini yield obligasi telah mencapai angka tinggi sehingga berdampak pada biaya yang dikeluarkan perseroan.

Dia menambahkan, dari awal tahun hingga saat ini yield obligasi sudah naik di kisaran 1%-2%.  Pada awal tahun, bunga obligasi bisa pada kisaran 7%. "Kalau sekarang dikasih 8%-9% mau dilempar ke pasar berapa," ujarnya.

Direktur Utama Mandiri Sekuritas Silvano Rumantir menambahkan rendahnya daya serap pasar terhadap obligasi disebabkan oleh tren kenaikan suku bunga acuan yang terjadi sepanjang tahun berjalan 2018. Selain itu, ada faktor global yang juga berdampak pada strategi investasi di Tanah Air.

Menurutnya, untuk obligasi dengan mata uang rupiah sebenarnya masih terbilang bagus dibandingkan dengan obligasi dengan mata uang dolar AS. "Karena kalau rupiah kebanyakan investor domestik, yang saat ini pembelinya masih ada. Tapi memang tidak sebanyak tahun lalu," kata dia.

Mardy Susanto, Presiden Direktur PT BCA Sekuritas selaku penjamin pelaksana emisi obligasi PT Bank CIMB Niaga Tbk. mengatakan, penurunan emisi itu merupakan hal yang wajar. Menurutnya, ini adalah mekanisme yang biasa terjadi di pasar modal.

Dia menambahkan, hal itu disebabkan karena besaran kupon yang diinginkan pasar tidak bisa dipenuhi oleh perseroan. Sebab bank penerbit, kata dia, harus mempertimbangkan apakah bunga dan kupon yang diinginkan itu sesuai dengan ekspektasi. 

"Tergantung daya serap pasar, karena tidak semua keinginan pasar selalu dipenuhi oleh pihak bank. Ada banyak pertimbangan yang harus diperhatikan," jelasnya.

Kepala Satuan Komunikasi Korporat Perusahaan Listrik Negara I Made Suprateka mengatakan pihaknya dalam mencari pendanaan tidak hanya mengejar jumlah uang. Akan tetapi, perseroan mempertimbangkan komponen cost of fund atau biaya dana yang lebih kompetitif. “[Tujuannya] dapat menjaga agar biaya pokok penyediaan listrik tidak naik,” ujarnya kepada Bisnis.

Ramdhan Ario Maruto, Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia menilai surat utang yang ditawarkan oleh PLN kurang dilirik investor. Akibatnya, jumlah pokok yang bakal dicatatkan berada di bawah target maksimal perseroan.

Ramdhan mengatakan kupon yang ditawarkan oleh PLN lebih rendah dari ekspektasi pasar. Menurutnya, investor mengharapkan bunga di atas 9%. “Emiten terlalu confident dengan rate yang ditawarkan sedangkan yield di sekundernya lebih tinggi,” jelasnya.

Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Wahyu Trenggono menilai, rendahnya daya serap pasar juga disebabkan oleh kebimbangan investor. Pasalnya, banyak investor yang melakukan wait and see dengan harapan yield yang lebih tinggi.

Di sisi lain, kenaikan yield ini akan merugikan perusahaan penerbit karena biaya penerbitan dipastikan lebih tinggi. Kondisi inilah yang saat ini dialami oleh pemerintah dalam penerbitan surat utang negara (SUN).

"Yield awal tahun untuk SUN yang 10 tahun itu 6,5%. Sekarang mencapai 8,3%, jadi kenaikannya cukup tinggi. Ini berdampak ke pemerintah, dan tentunya akan mengarah ke obligasi korporasi juga dampaknya," jelas dia.

Namun demikian, menurutnya para pelaku pasar telah melakukan penghitungan untuk menyesuaikan dengan kondisi global. Artinya, harga yang berlaku saat ini telah merefleksikan kondisi pasar. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Tegar Arief
Editor : Riendy Astria
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper