Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Imbal Hasil US Treasury & Harga Minyak Menanjak, Rupiah Lesu

Kenaikan imbal hasil US Treasury membebani nilai tukar rupiah bersama mayoritas mata uang di Asia, saat dolar Amerika Serikat (AS) menguat menjelang pertemuan kebijakan moneter bank sentral AS Federal Reserve.
Karyawan memperlihatkan mata uang rupiah di salah satu bank di Jakarta./JIIBI-Abdullah Azzam
Karyawan memperlihatkan mata uang rupiah di salah satu bank di Jakarta./JIIBI-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikan imbal hasil US Treasury membebani nilai tukar rupiah bersama mayoritas mata uang di Asia, saat dolar Amerika Serikat (AS) menguat menjelang pertemuan kebijakan moneter bank sentral AS Federal Reserve.

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup melemah 52 poin atau 0,35% di level Rp14.918 per dolar AS pada perdagangan hari ini, Selasa (25/9/2018). Pagi tadi, rupiah dibuka melemah tipis 9 poin atau 0,06% di posisi 14.875.

Sepanjang perdagangan hari ini, rupiah bergerak pada level Rp14.875 – Rp14.918 per dolar AS. Mata uang Garuda melanjutkan pelemahannya selama dua hari berturut-turut setelah berakhir terdepresiasi 49 poin atau 0,33% di level 14.866 pada Senin (24/9).

Mata uang lainnya di Asia mayoritas ikut melemah petang ini, di antaranya peso Filipina, yuan onshore China, dan ringgit Malaysia. Namun, dibandingkan dengan mata uang tersebut, pelemahan rupiah cenderung lebih dalam.

Rupiah memimpin pelemahan mata uang Asia setelah imbal hasil US Treasury 10 tahun menanjak ke level tertingginya sejak Mei menjelang pertemuan kebijakan moneter The Fed. Imbal hasil US Treasury naik menjadi 3,10%, level tertingginya sejak Mei.

Rapat kebijakan The Fed yang dimulai hari ini waktu setempat diperkirakan akan memutuskan kenaikan suku bunga untuk yang ketiga kalinya tahun ini serta menjabarkan arah kebijakan suku bunga selama beberapa tahun berikutnya.

Pada saat yang sama, kenaikan harga minyak mentah juga meruntuhkan sentimen terhadap negara-negara dengan defisit transaksi berjalan.

 “Mata uang Asia, khususnya negara-negara dengan utang mata uang asing yang lebih tinggi, diperkirakan akan semakin tertekan jika The Fed menjadi lebih hawkish, khususnya dengan imbal hasil US Treasury 10 tahun bertahan di atas 3,05%,” jelas Khoon Goh, kepala riset di Australia and New Zealand Banking Group Ltd., seperti dikutip Bloomberg.

“Harga minyak yang lebih tinggi juga diperkirakan akan memengaruhi negara-negara yang memiliki defisit transaksi berjalan di tengah impor minyak,” tambahnya.

Harga minyak Brent kontrak November 2018 petang ini terpantau lanjut menguat 1,10% ke level US$82,09 per barel pukul 17.59 WIB, setelah berakhir melonjak lebih dari 3% pada Senin (24/9).

Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama terpantau naik tipis 0,001 poin ke level 94,186 pada pukul 17.36 WIB.

Sebelumnya indeks dolar dibuka dengan kenaikan 0,063 poin atau 0,07% di level 94,248, setelah berakhir turun tipis 0,04% atau 0,035 poin di posisi 94,185 pada perdagangan Senin (24/9).

“Jika kita mendapatkan semacam sentimen yang hawkish dari The Fed, maka hal itu akan menjadi dorongan lebih lanjut untuk kenaikan dolar AS,” ujar Bart Wakabayashi, seorang manajer di State Street Bank.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper