Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Kembali Terdepresiasi, Ini Faktor Penekannya!

Ancaman terbaru yang dilemparkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait tarif impor memukul daya tarik aset berisiko. Rupiah pun melemah bersama mayoritas mata uang di Asia pada perdagangan hari ini, Senin (10/9/2018).
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dollar AS di Jakarta, Senin (2/7/2018)./ANTARA-Puspa Perwitasari
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dollar AS di Jakarta, Senin (2/7/2018)./ANTARA-Puspa Perwitasari

Bisnis.com, JAKARTA — Ancaman terbaru yang dilemparkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait tarif impor memukul daya tarik aset berisiko. Rupiah pun melemah bersama mayoritas mata uang di Asia pada perdagangan hari ini, Senin (10/9/2018).

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah berakhir melemah 37 poin atau 0,25% di level Rp14.857 per dolar AS, setelah mampu ditutup menguat 73 poin atau 0,49% di posisi 14.820 pada Jumat (7/9).

Mata uang Garuda mulai tergelincir dari penguatannya ketika dibuka dengan depresiasi 15 poin atau 0,10% di posisi 14.835 pagi tadi. Sepanjang perdagangan hari ini, rupiah bergerak pada level Rp14.835 – Rp14.880 per dolar AS.

Bersama rupiah, mata uang lainnya di Asia mayoritas terpantau melemah petang ini, dipimpin rupee India yang merosot 0,94% dan won Korea Selatan yang turun 0,5%.

Rupee memimpin pelemahan mata uang di Asia dan bergerak menuju rekor level terendahnya setelah defisit transaksi berjalan India dilaporkan membengkak menjadi US$15,8 miliar, terbesar dalam lima tahun.

Mata uang lainnya juga melemah akibat terbebani kuatnya data pekerjaan AS yang mendorong ekspektasi kenaikan suku bunga lanjutan oleh The Federal Reserve. Tak hanya mata uang, kinerja bursa saham di kawasan ini juga melemah.

Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama terpantau berbalik turun 0,03% atau 0,033 poin ke level 95,332 pada pukul 17.43 WIB.

Pagi tadi, indeks dolar dibuka di zona hijau dengan kenaikan 0,062 poin atau 0,07% di level 95,427, setelah berakhir menguat 0,36% atau 0,344 poin di posisi 95,365 pada perdagangan Jumat (7/9).

Reli dolar AS sedikit mengambil jedanya petang ini saat para pedagang menantikan potensi eskalasi perselisihan perdagangan AS-China. Penguatan greenback sebelumnya ditopang laporan pekerjaan di AS yang terlihat lebih kuat dari perkiraan.

Laporan pekerjaan AS menunjukkan akselerasi rata-rata penghasilan per jam dengan laju tercepat sejak 2009.

Greenback mendapat dukungan lebih lanjut setelah Trump menyatakan siap memberlakukan tarif terhadap barang-barang tambahan asal China senilai US$267 miliar. Nilai ini melebihi rencana yang diusulkan sebelumnya untuk pengenaan tarif terhadap impor senilai US$200 miliar dari China.

“Faktor-faktor tersebut menekan minat terhadap aset berisiko,” ujar Vishnu Varathan, kepala ekonomi dan strategi Mizuho Bank Ltd., Singapura, seperti dikutip dari Bloomberg.

Tekanan Ekonomi Global

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa perekonomian global dapat menghadapi lebih banyak tekanan tahun depan akibat kenaikan suku bunga AS dan dampak perang dagang global.

Risiko penurunan terhadap pertumbuhan global semakin tinggi dan jika Italia mengalami resesi "itu akan mengarah pada dinamika utang yang mengkhawatirkan,” ujar Sri Mulyani kepada anggota parlemen di Jakarta pada hari Senin, seperti dikutip Bloomberg.

Ia lebih lanjut mengingatkan bahwa harga komoditas dapat melesu pada tahun depan akibat terdampak perang dagang.

Kekhawatiran mulai dari gejolak perdagangan hingga gejolak pasar negara berkembang telah membebani prospek pertumbuhan global. Investor-investor asing pun melepaskan aset berisiko dan beralih pada pasar negara maju.

Perkiraan untuk dua kenaikan suku bunga lebih lanjut oleh The Fed tahun ini beserta kemerosotan mata uang telah mendorong sejumlah negara, mulai dari Argentina hingga Indonesia menaikkan suku bunga dan meningkatkan intervensi pasar demi melindungi ekonomi.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menyatakan Indonesia masih tahan banting didukung konsumsi rumah tangga dan investasi yang tetap kuat.

“Bank Indonesia akan terus melakukan intervensi dalam pasar mata uang dan obligasi serta memperkuat respons kebijakannya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan membatasi inflasi,” kata Mirza.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper