Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sepanjang Pekan Ini, Tekanan Pasar Obligasi Belum Mereda

Tekanan yang terjadi pada pasar obligasi sepanjang pekan lalu belum dapat diharapkan akan mereda pada sepekan ke depan, mengingat akan dirilis sejumlah data krusial global dan belum adanya kepastian perang dagang akan mereda.

Bisnis.com, JAKARTA—Tekanan yang terjadi pada pasar obligasi sepanjang pekan lalu belum dapat diharapkan akan mereda pada sepekan ke depan, mengingat akan dirilis  sejumlah data krusial global dan belum adanya kepastian perang dagang akan mereda.

Pada Jumat pekan lalu, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun ditutup di level 8,42%, meningkat 26 bps dibandingkan Jumat pekan sebelumnya atau terjadi penurunan harga.

Maximilianus Nico Demus, Direktur Riset dan Investasi Kiwoom Sekuritas Indonesia, mengatakan bahwa pekan ini merupakan pekan yang cukup krusial, tetapi peluang bagi peningkatan harga SUN cukup terbuka.

Beberapa data ekonomi yang harus ditunggu adalah US Federal Reserve Release Beige Book pada Kamis (13/9) yang diikuti oleh data inflasi Amerika. Nico mengestimasikan inflasi AS secara year on year tidak berubah di 2,4%, tetapi secara month on month naik dari 0,2% menjadi 0,3%.

Selain itu, data initial jobless claims juga akan keluar yang diproyeksikan akan meningkat dibandingkan bulan sebelumnya dari 203.000 menjadi 210.000. Pekan lalu, data tenaga kerja AS menunjukkan peningkatan serapan tenaga kerja dan upah per jam

Dari Eropa, Bank Sentral Eropa akan mengumumkan tingkat suku bunga yang diperkirakan masih tetap. Namun, tapering off akan menjadi perhatian khusus para pelaku pasar dan investor pekan ini.

Dari China akan dirilis data inflasi yang diperkirakan secara yoy tidak berubah di 2,1%. Selain itu, data yang juga layak ditunggu adalah produksi industri yang diestimasikan tumbuh dari 6% menjadi 6,2%.

Nico mengatakan, besar kemungkinan pekan depan menjadi titik balik bagi harga obligasi setelah selama sepekan lalu terkapar. Namun, potensi penguatan tidak akan terlalu banyak.

“Kenaikan pekan depan mungkin saja sebagai syarat untuk terjadinya penurunan lebih lanjut pada 2 pekan berikutnya karena ada tekanan kenaikan tingkat suku bunga,” katanya, Minggu (9/9).

Nico memperkirakan, pekan depan yield SUN 10 tahun akan bergerak di rentang 8,35% hingga 8,60%. Bila rentang ini ditembus bulan ini, besar kemungkinan arah yield selanjutnya berada pada 8,80%.

Terkait kurs rupiah, Nico memproyeksikan akan bergerak di rentang Rp14.650 – Rp14.800, tetapi potensi pelemahan hingga Rp15.000 tetap terbuka bila menimbang kondisi saat ini.

Dhian Karyantono, Analis Fixed Income Mirae Asset Sekuritas, memperkirakan sepanjang pekan ini, yield SUN 10 tahun berpotensi meningkat, artinya  terjadi penurunan harga. Dirinya memproyeksikan yield SUN 10 tahun pekan ini akan bergerak di rentang 8,49% - 8,73%.

Proyeksi itu, didasarkan pada dua asumsi determinan utama yield SUN 10 tahun, yaitu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang diperkirakan pada kisaran Rp14.870 - Rp14.985  pekan ini, serta yield US Treasury 10 tahun yang diperkirakan pada rentang 2,86% - 2,96%.

Pergerakan yield SUN pekan ini juga dipengaruhi adanya lelang SUN. Di sisi lain, sentimen negatif dari perang dagang tampaknya kembali  berlanjut setelah Trump berencana kembali menetapkan tarif impor produk Tiongkok tahapan ketiga senilai $267 miliar.

Trump juga tertarik untuk mulai mereview perdagangan internasional AS dengan Jepang yang kemungkinan memicu adanya penetapan tarif impor produk Jepang oleh AS. 

“Meskipun demikian, investor perlu memperhatikan pergerakan rupiah terhadap dolar AS yang bisa sewaktu-waktu menguat di tengah gencarnya intervensi Bank Indonesia baik di pasar obligasi maupun valas,” katanya.

Anup Kumar, Senior Fixed Income Analyst Bank Maybank Indonesia, mengatakan bahwa dalam kondisi pasar terkini, dirinya merekomendasikan pembelian pada seri SUN 20 tahun sebanyak 25% dari alokasi investasi dan menambah lagi 25% pada posisi yield 9,05%.

Anup menilai, harga SUN 20 tahun kini sudah sangat murah akibat aksi jual investor yang besar dan pada yield yang tinggi karena kekhawatiran terhadap pelemahan rupiah.

Menurutnya, kekhawatiran pasar terhadap negara berkembang memang wajar karena tekanan aksi redemption dan likuiditas yang makin tipis di pasar, tetapi aksi jual SUN saat ini sudah sangat berlebihan.

Hal ini mengingatkan pada pasar 2015 lalu yang memiliki konteks yang sama yakni kekhawatiran terhadap kenaikan suku bunga AS, dollar yang kuat, dan tekanan mata uang negara berkembang seperti Brazil, Turki dan Afrika Selatan.

Saat itu, yield SUN 10 tahun melonjak 250 bps dalam waktu 6 bulan, dari 7,30% menjadi 9,80% per September 2015. Bahkan, kondisi terparah terjadi pada 2013, pasca krisis finansial global yang mana yield SUN 10 tahun naik hingga 340 bps dalam 5 bulan dari 5,5% pada Mei menjadi 8,9% pada September.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper