Bisnis.com, JAKARTA--Sentimen positif yang kuat perlu ditingkatkan untuk menstabilkan kurs rupiah yang mendekati Rp15.000 per dolar AS.
Ekonom DBS Radhika Rao melihat aksi jual obligasi pemerintah secara bersamaan menekan nilai tukar rupiah.
Sebagian besar, dia mengakui aksi selloff disebabkan oleh kekhawatiran tentang Turki dan Argentina yang meluas ke emerging market lainnya dan sangat sedikit hubungannya dengan kondisi domestik.
"[Namun] Pada dasarnya, kami tidak berpikir bahwa selloff itu dibenarkan mengingat kurangnya hubungan yang jelas antara Indonesia dan Turki/Argentina," ungkap Radhika dalam catatannya, Rabu (5/9).
Dengan kondisi ini, dia melihat jeda kenaikan suku bunga acuan emerging market kemungkinan akan sulit dipahami dalam waktu dekat.
Akibatnya, antara emerging market contagion, Fed hikes dan perang dagang, akan menyulitkan investor untuk mengambil risiko utang di dalam negeri pada saat ini.
Terdapat dua poin sulit yang masih bertahan, defisit transaksi berjalan di bawah 3% tahun ini.
Namun, Radhika memperkirakan potensi melebar dibandingkan tahun 2017 tetap ada dan ini menyiratkan kebutuhan pembiayaan yang lebih tinggi.
Kedua, kepemilikan asing yang cukup besar terhadap obligasi domestik, ditambah dengan utang korporasi dalam dolar yang lebih tinggi. "Di dalam lingkungan dollar AS yang kuat, terlihat mata uang rupiah rentan terhadap kelemahan."
Pukul 13:00 WIB, Rabu (4/9), rupiah menguat tipis 0,01% menjadi Rp14.933 per dolar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel