Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Agustus 2018, Produksi Minyak OPEC Tertinggi

Produksi minyak mentah OPEC tercatat mengalami kenaikan selama Agustus, tertinggi sepanjang 2018 setelah produksi di Libya kembali pulih dan ekspor minyak Irak mencapai rekor meskipun sanksi dari Amerika Serikat ke Iran berpotensi membatasi kenaikan harga.
Markas OPEC di Wina, Austria/Reuters-Leonhard Foeger
Markas OPEC di Wina, Austria/Reuters-Leonhard Foeger

Bisnis.com, JAKARTA – Produksi minyak mentah OPEC tercatat mengalami kenaikan selama Agustus, tertinggi sepanjang 2018 setelah produksi di Libya kembali pulih dan ekspor minyak Irak mencapai rekor meskipun sanksi dari Amerika Serikat ke Iran berpotensi membatasi kenaikan harga.

Dilansir dari survei Reuters, Sabtu (1/9/2018), ke-15 anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) telah memompa 32,79 juta barel per hari selama Agustus. Jumlah tersebut naik 220.000 barel per hari sejak Juli dan tertinggi selama 2018.

OPEC dan sekutunya telah menyepakati keputusan untuk meningkatkan produksi minyak karena Presiden AS Donald Trump terus mendesak para produsen untuk mendukung penurunan harga dan mencegah kenaikan harga ketika sanksi AS kepada Iran berlaku.

Tahun ini, harga minyak Brent yang menjadi patokan harga minyak global, sempat menyentuh posisi US$80 per barel, meruoakan uang tertinggi sejak 2014.

Pada Juni lalu, OPEC, Rusia, dan sejumlah negara non-OPEC sepakat untuk kembali memenuhi kinerjanya hingga 100% dengan kebijakan pemangkasan produksi yang dimulai pada Januari 2017, setelah beberapa bulan kekurangan produksi dari Venezuela dan negara lain, kepatuhan pemenuhan produksi didorong hingga 160%.

Negara pengekspor utama minyak Arab Saudi, yang berjanji akan mendorong produksinya, menerjemahkan bahwa kesepakatan kepatuhan 100% untuk mendorong produksinya hingga 1 juta barel per hari.

Meskipun demikian, kepatuhan OPEC dengan target pasokan sudah meningkat 120% pada Agustus dari 117% pada Juli, karena ada tambahan barel dari Arab Saudi dan negara lain yang belum cukup untuk mengimbangi kemungkinan penghentian pasokan dari Iran dan penyusutan produksi dari Venezuela dan Angola.

Kenaikan pasokan terbesar pada Agustus datang dari Libya, yang produksinya tercatat masih volatil karena kerusuhan.

Produksi di ladang minyak Sharara, yang terbesar di Libya, naik setelah kembali mengoperasikan stasiun kendali yang telah ditutup karena ada kasus penculikan dua pekerja, ditambah dengan ladang minyak lainnya yang berhasil memompa dengan jumlah lebih banyak.

Kenaikan produksi terbesar kedua berasal dari Irak, yang ekspornya tercatat mencapai rekor. Pengirimannya juga meningkat dari Utara, membuat Irak menjadi anggota OPEC yang paling patuh pada Agustus.

Arab Saudi, setelah mengalami kenaikan produksi, mengalami kemunduran dari rencananya untuk menambah produksi pada Juli dengan mencatatkan penurunan produksi yang hanya mencapai 10,4 juta barel per hari. Pasokan pada Agustus tercatat hanya naik menjadi 10,48 juta barel per hari dan masih lebih rendah dari volume pada Juni sebanyak 10,6 juta barel per hari.

Pasokan dari Nigeria naik 30.000 barel per hari. Seperti di Libya, Nigeria mendapat kebebasan dari OPEC dalam kebijakan pemangkasan produksi karena sering mengalami penyusutan produksi tanpa bisa diprediksi karena mengalami sejumlah kerusuhan dan konflik.

Sementara itu, Kuwait dan Uni Emirat Arab, setelah meningkatkan jumlah produksinya mengikuti kebijakan OPEC, mempertahankan kestabilan jumlah produksinya pada Juli.

Harga minyak bergerak turun pada penutupan perdagangan Jumat (31/8/2018), tetapi untuk West Texas Intermediate (WTI) masih berada di dekat level $70 per barel karena sentimen sanksi AS yang akan datang terhadap Iran dan penurupan output dari Venezuela yang mengimbangi isu perang perdagangan global. 

“Meskipun terkoreksi, minyak WTI berada di jalur unruk kenaikan hampir 2% pada bulan ini. Banyak analis perkirakan harga akan naik lebih lanjut,” ujar Faisyal, analis PT Monex Investondo Futures, dilansir dalam laporan hariannya, Sabtu (1/9/2018).

PT Monex memproyeksikan harga minyak WTI setelah memerah pada penutupan perdagangan Jumat, berpeluang turun akibat aksi profit taking dengan target ke US$68,70 – US$69,50 per barel. 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Mutiara Nabila
Editor : Nancy Junita

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper