Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Minyak Terkerek Jelang Sanksi AS ke Iran

Harga minyak kembali terkerek menjelang pemberlakuan sanksi Amerika Serikat terhadap salah satu negara pengekspor minyak utama dunia Iran.
/Ilustrasi
/Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak kembali terkerek menjelang pemberlakuan sanksi Amerika Serikat terhadap salah satu negara pengekspor minyak utama dunia Iran.

Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) paada perdagangan Selasa (7/8), naik 0,06 poin atau 0,09% menjadi US$69,06 per barel. Sementara itu, harga minyak Brent naik 0,19 poin atau 0,26% menjadi US$73,94 per barel.

Sanksi AS ke Iran, negara yang mengirimkan sekitar 3 juta barel per hari (bpd) minyak pada sepanjang Juli, akan mulai berhenti mengirimkan keseluruhan produksi minyaknya mulai pukul 00.01 waktu AS bagian Timur, Selasa (7/8).

“Nampaknya AS sangat menentang perubahan rezim di Iran,” ujar Greg McKenna, kepala strategi pasar pialang berjangka AxiTrader, dikutip dari Reuters, Selasa (7/8).

Sejumlah negara, termasuk sekutu AS Eropa, China dan India menentang sanksi terbaru tersebut, tetapi pemerintah AS menyatakan bahwa pihaknya masih akan terus mendesak agar negara lain, sebanyak mungkin, berhenti membeli minyak mentah dari Iran.

“Kebijakan negara kami yang ingin negara lain tidak lagi membeli minyak dari Iran, secepat mungkin. Kami akan bekerja sama dengan tiap-tiap negara berdasarkan kasus-per-kasus, tapi tujuan kami adalah untuk mengurangi jumlah keuntungan dan melemahkan mata uang Iran,” ungkap sejumlah pejabat administrasi AS, Senin (6/8).

Bank asal Prancis Societe Generale melaporkan bahwa saat ini persediaan minyak di pasar fisik masih cukup banyak. Sanksi di Iran akan menarik cadangan minyak sebanyak 1 juta bpd dari pasar, membuat pasar memiliki sedikit kapasitas untuk menghadapi gangguan selanjutnya.

Pendorong pasar minyak utama dalam beberapa bulan terakhir terfokus pada hasil produksi dari produsen teratas Rusia, Arab Saudi, dan AS, pembaruan sanksi Iran, dan perang dagang antara AS dan China, serta ketidakpastian gangguan pasokan. Sejumlah analis memperingatkan bahwa gelombang panas juga akan memengaruhi permintaan terhadap komoditas minyak mentah.

Sebagian besar wilayah bumi bagian Utara telah dilanda cuaca panas ekstrem pada musim panas lalu, membuat permintaan minyak untuk digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik pendingin di sektor industri dan perumahan.

Kondisi tersebut juga memberikan pengaruh besar pada permintaan untuk bahan bakar lainnya, seperti batu bara termal dan gas alam.

Namun, laporan Bank asal AS JPMorgan menyatakan bahwa cuaca yang lebih hangat sepanjang kuartal IV/2018, disebabkan oleh potensi pola cuaca El-Nino. Pola cuaca ekstrem tersebut dapat menyebabkan kekeringan, banjir, dan bencana alam lainnya di seluruh dunia, termasuk gelombang panas di AS yang memengaruhi pertumbuhan komoditas pertanian.

Dalam laporan JPMorgan tersebut juga disebutkan bahwa gelombang El-Nino yang terakhir terjadi menyebabkan penurunan tajam pada permintaan dan harga bahan bakar minyak untuk perumahan dan komersil di AS.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Mutiara Nabila
Editor : Rustam Agus

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper