Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah & Mata Uang Asia Tertekan Isu Perang Dagang

Pergerakan nilai tukar rupiah berakhir melemah pada perdagangan hari ini, Senin (2/7/2018), sejalan dengan pelemahan hampir seluruh mata uang di Asia terhadap dolar AS.
Mata uang Asia/Istimewa
Mata uang Asia/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Pergerakan nilai tukar rupiah berakhir melemah pada perdagangan hari ini, Senin (2/7/2018), sejalan dengan pelemahan hampir seluruh mata uang di Asia terhadap dolar AS.

Rupiah ditutup melemah 60 poin atau 0,42% di Rp14.390 per dolar AS, setelah dibuka stagnan di Rp14.330.

Padahal perdagangan Jumat (29/6), performa mata uang Garuda mampu rebound dan berakhir menguat 64 poin atau 0,44% di posisi Rp14.330, setelah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 5,25%.

Sepanjang perdagangan hari ini, rupiah bergerak pada level Rp14.325 – Rp14.405 per dolar AS.

Bersama rupiah, mayoritas mata uang di Asia melemah petang ini, dipimpin renminbi dan yuan offshore China sebesar 0,62%. Hanya mata uang dolar Hong Kong yang terpantau menguat meski hanya sebesar 0,01%.

Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama terpantau lanjut menguat 0,35% atau 0,329 poin ke level 94,779 pada pukul 17.45 WIB.

Pergerakan indeks dibuka di zona hijau dengan kenaikan 0,17% di level 94,626 pagi tadi, setelah berakhir melemah 0,88% atau 0,842 poin di posisi 94,470 pada perdagangan Jumat (29/6).

Dilansir dari Bloomberg, lonjakan yang mampu dibukukan akhir pekan lalu tidak cukup membalikkan penurunan untuk pasar negara berkembang, dimana mata uang berikut sahamnya pada perdagangan hari ini membukukan kuartal terburuknya sejak 2015, di tengah meningkatnya kekhawatiran perang dagang dan indikasi pelemahan di China.

Seperti diketahui, data Indeks Pembelian Manajer (Purchasing Managers’ Index/PMI) China untuk Juni yang dirilis pada Sabtu (30/6/2018) menunjukkan data permintaan ekspor yang berkontraksi.

Biro Statistik China (NBS) mencatat Indeks Pembelian Manajer (Purchasing Managers’ Index/PMI) China berkontraksi menuju 51,5 pada Juni, di bawah perkiraan analis di level 51,6, dan raihan 51,9 pada Mei.

Adapun data indeks permintaan ekspor China juga berkontraksi untuk pertama kalinya sejak Februari 2018, turun menjadi 49,8 dari bulan sebelumnya, menunjukkan melesunya permintaan dari negara-negara lain.

Ini menjadi tanda paling jelas bahwa perang perdagangan yang akan datang memiliki dampak negatif pada pertumbuhan. Mulai Jumat ini (6/7/2018), Amerika Serikat (AS) dan China akan mulai saling memberlakukan tarif lebih tinggi untuk ratusan jenis produk impor, sekaligus menandai eskalasi konflik yang besar.

Ibrahim Assuaibi, Direktur PT Garuda Berjangka, sebelumnya telah menyebutkan faktor isu perang dagang AS yang memanas tak hanya dengan China, tetapi juga dengan sekutunya seperti Rusia, Kanada, dan Eropa menjadi salah satu sentimen yang mendorong pelemahan rupiah

Rupiah diharapkan tidak akan terus melemah hingga akhir tahun karena AS dan China akan segera melakukan pertemuan win-win solution.

“Kalau ada titik temu dan perang dagang selesai maka rupiah bisa kembali lagi menguat. Untuk perang global lainnya biasanya akan mengekor selesai, karena isu AS dan China masih yang paling besar,” tuturnya, seperti dilansir Bisnis.com. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper