Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Di Balik Pelemahan Nilai Tukar Rupiah

Upaya untuk menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak bisa hanya mengandalkan BI atau pemerintah saja. Rakyat dan para pelaku industri juga harus secara bersama-sama melakukan usaha yang sama, sehingga kondisi fundamental ekonomi Indonesia semakin kokoh dan tahan terhadap goncangan dari luar.
Hasil Rapat Dewan Gubernur Bisnis Indonesia Jumat 29 Juni 2018
Hasil Rapat Dewan Gubernur Bisnis Indonesia Jumat 29 Juni 2018

Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali mengalami tren pelemahan. Bahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah menembus angka Rp14.100 per dolar dan sepertinya belum menunjukkan adanya tanda-tanda penguatan.

Kondisi ini tentu kembali memunculkan pertanyaan di ruang publik, “apa yang terjadi di balik pelemahan nilai tukar rupiah sehingga rupiah terus terpuruk?”

Sebagai suatu komoditas, pelemahan nilai tukar rupiah merupakan suatu hal yang wajar sepanjang terjadi dalam rentang nilai dan rentang waktu kewajaran. Dalam era ekonomi terbuka seperti sekarang ini, sekuat apapun nilai mata uang suatu negara pasti akan terkena dampak guncangan (shock) baik guncangan yang berasal dari faktor eksternal maupun faktor internal.

Ekses dan magnitude dari guncangan tersebut akan dipengaruhi oleh seberapa banyak dan seberapa besar guncangan yang terjadi yang menghantam nilai mata uang tersebut. Selain itu, ekses dan magnitude dari guncangan akan dipengaruhi juga oleh kekuatan mata uang negara yang bersangkutan.

Jika fundamental ekonomi negara yang bersangkutan kuat maka nilai mata uangnya cenderung tahan banting.

Jika ditelaah lebih mendalam, tekanan yang dialami oleh mata uang rupiah beberapa hari belakangan ini merupakan tekanan ganda yang berasal dari faktor eksternal dan internal sekaligus. Oleh karena itu, pemerintah beserta otoritas kebijakan moneter dalam hal ini Bank Indonesia (BI) sepertinya sedikit kesulitan untuk mengendalikan pelemahan nilai tukar rupiah ini khususnya terhadap mata uang dolar AS.

Prediksi membaiknya ekonomi AS telah menarik minat investor global untuk kembali memindahkan modalnya dari negara-negara berkembang ke negeri Paman Sam. Pertumbuhan ekonomi AS tahun 2018 diperkirakan akan naik 0,6% dari 2,3% pada 2017 menjadi 2,9% pada 2018.

Selain itu, kenaikan suku bunga The Fed sebesar 25 bps semakin menambah yakin para investor untuk memulangkan dananya ke Amerika Serikat.

Di samping mulai bersinarnya pertumbuhan ekonomi AS, pertumbuhan negara-negara berkembang dengan penduduk yang besar juga mulai manarik minat para investor global untuk mencoba peruntungan di negara-negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi India yang diprediksi kembali meningkat dari 6,4% pada 2016 menjadi 7,4% pada 2018 menjadi daya tarik para investor global untuk melakukan investasi di negara Bollywood tersebut.

Selain India, negara-negara di benua Afrika juga mulai memperlihatkan geliatnya. Oleh karena itu, negara-negara emerging market yang selama ini menjadi mainstream tujuan investasi mulai ditinggalkan termasuk Indonesia.

Surat Utang Negara (SUN) Indonesia pada kuartal awal 2018 ini sepi peminat. Bahkan pelaku pasar modal global banyak yang menarik modalnya dari pasar modal Indonesia. Akibat penarikan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat mengalami penurunan yang cukup parah dari kisaran angka 6.400-an menjadi 5.800-an dalam selang waktu dua bulan.

Dengan tekanan guncangan eksternal yang bertubi-tubi ini maka tidak heran jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin terdepresiasi. Kondisi ini diperparah dengan guncangan kondisi internal.

Defisit neraca pembayaran dan perdagangan menjadikan rupiah semakin terpojok. Tren kenaikan konsumsi terhadap barang-barang impor, baik bahan baku maupun barang jadi menciptakan defisit neraca perdagangan dalam beberapa bulan terakhir ini. Kenaikan impor yang jauh melebihi kenaikan ekspor semakin menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Masih rendahnya penerimaan negara dari sisi ekspor menjadikan kekuatan pemerintah beserta BI sangat terbatas. Cadangan devisa Indonesia masih berkisar di angka US$120 miliar. Sampai Mei 2018 cadangan devisa Indonesia turun dari US$124,9 miliar pada Maret menjadi US$122,9 miliar pada Mei. Padahal pada Januari 2018 cadangan devisa Indonesia sempat mencapai US$131 miliar. Turunnya cadangan devisa ini disebabkan oleh operasi pasar BI yang mencoba untuk menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Namun sepertinya operasi pasar yang dilakukan BI ini tidak cukup kuat untuk mengendalikan kekuatan pasar.

Melihat berbagai tekanan terhadap rupiah yang berasal dari faktor eksternal dan internal maka langkah dan upaya penguatan nilai tukar rupiah harus dilakukan secara kolektif dari seluruh elemen bangsa. Guncangan eksternal merupakan variabel eksogen yang tidak bisa dikendalikan. Namun, fundamental ekonomi Indonesia merupakan variabel yang berada dalam jangkauan seluruh elemen bangsa dari mulai pemerintah, BI, pelaku industri, dan masyarakat luas.

Perkuat Fundamental Ekonomi

Upaya untuk menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak bisa hanya mengandalkan BI atau pemerintah saja. Rakyat dan para pelaku industri juga harus secara bersama-sama melakukan usaha yang sama, sehingga kondisi fundamental ekonomi Indonesia semakin kokoh dan tahan terhadap goncangan dari luar.

Kebijakan pemerintah dengan menerbitkan peraturan mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagai usaha untuk melakukan substitusi bahan baku impor perlu didukung oleh seluruh pelaku industri di Indonesia dari mulai penyedia bahan baku sampai dengan pengguna.

Penyedia bahan baku yang bisa menjadi barang substitusi impor harus bisa menyediakan bahan baku yang kompetitif dan berdaya saing sehingga dengan sendirinya pelaku industri akan menggunakan bahan baku dalam negeri tersebut.

Di sisi lain, para pelaku industri juga harus dengan sukarela mau menggunakan produk-produk dalam negeri sehingga ketergantungan terhadap dolar lambat laut bisa terus dikurangi.

Pemerinah juga harus segera menerbitkan pembatasan rezim devisa bebas. Para pelaku ekspor dan impor harus dipaksa untuk bertransaksi di Indonesia, sehingga mata uang dolar yang didapat bisa masuk ke dalam cadangan devisa Indonesia.

Selama ini diyakini penggunaan rezim devisa bebas ini telah menghilangkan lebih dari 50% potensi pendapatan devisa Indonesia.

Oleh sebab itu, penerbitan peraturan ini mutlak diperlukan. Dengan terbitnya peraturan devisa bebas ini maka peraturan BI mengenai kewajiban penggunaan mata uang rupiah untuk seluruh transaksi di Indonesia akan menghasilkan hasil yang efektif dalam kaitannya meningkatkan cadangan devisa Indonesia.

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ini mutlak harus segera dihentikan dan rupiah harus kembali diperkuat. Namun penguatan nilai tukar rupiah ini tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah dan BI saja. Dukungan dari seluruh elemen masyarakat mutlak diperlukan, sehingga keinginan untuk mewujudkan mata uang rupiah yang kuat bisa diwujudkan dalam waktu yang singkat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper