Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tembaga Masih Bergerak Lemah di Bawah US$7.000

Harga tembaga mengalami pelemahan seiring dengan tekanan dari melemahnya data properti China dan momentum menjelang kenaikan suku bunga The Federal Reserve.
Tembaga/Reuters
Tembaga/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Harga tembaga mengalami pelemahan seiring dengan tekanan dari melemahnya data properti China dan momentum menjelang kenaikan suku bunga The Federal Reserve.

Harga tembaga di London Metal Exchange (LME) ditutup melemah pada perdagangan Selasa (20/3) sebesar 99 poin atau 1,44% menjadi US$6.755 per ton, penurunan 4 sesi berturut-turut sekaligus menjadi level terlemah sejak 14 Desember 2017. Sepanjang tahun berjalan, harga turun 6,79%.

Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim menuturkan bahwa harga tembaga akhir-akhir ini memang tengah terpuruk. Menurutnya, harga bergerak melemah merupakan hal yang wajar di tengah jelang kenaikan suku bunga The Federal Reserve.

“Secara fundamental, harga bagus. Namun, spekulasi The Federal Reserve dijadikan perhatian oleh pelaku pasar,” kata Ibrahim kepada Bisnis, Rabu (21/3/2018).

Kemungkinan harga tembaga dalam menyongsong kenaikan tingkat suku bunga yang akan dilakukan oleh The Fed tersebut akan menekan harga tembaga hingga kemungkinan bergerak ke level US$6.500 per ton.

“Harga tembaga juga melemah ditengarai oleh sentimen perlambatan ekonomi China yang ditandai dengan data properti China yang menurun,” lanjut Ibrahim.

Biro Statistik China (NBS) merilis harga rata-rata rumah baru di 70 kota besar China naik 0,2% pada periode Februari. Kendati tumbuh, namun kenaikan tersebut lebih rendah dari pertumbuhan pada periode Januari sebesar 0,7%.

Sejak rilis data tersebut, harga komoditas logam, termasuk tembaga terkoreksi. China merupakan produsen sekaligus konsumen komoditas logam terbesar di dunia sehingga data-data yang dirilis selalu memberi pengaruh yang signifikan.

Kendati demikian, Ibrahim memproyeksikan, harga tembaga bisa kembali naik paska realisasi kenaikan suku bunga tersebut hingga mampu kembali menembus level US$7.000 per ton.

“Paska itu [kenaikan suku bunga], harga bisa menembus US$7.000 per ton lagi, sekitar 1 pekan ke depan. Pasalnya, pasar beralih perhatian dari kenaikan suku bunga ke faktor fundamental,” ujar Ibrahim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Eva Rianti
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper