Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Secara Fundamental, Bursa Kontrak Baja Loyo

Harga baja diperkirakan mengalami tren melemah sampai akhir tahun ini lantaran melambatnya konsumsi baja di China.
Pekerja mengelas kawat tiang pondasi proyek double-double track (DDT) atau rel ganda Paket A Manggarai-Jatinegara, Jakarta, Jumat (21/)./Antara-Angga Budhiyanto
Pekerja mengelas kawat tiang pondasi proyek double-double track (DDT) atau rel ganda Paket A Manggarai-Jatinegara, Jakarta, Jumat (21/)./Antara-Angga Budhiyanto

Bisnis.com, JAKARTA – Harga baja diperkirakan mengalami tren melemah sampai akhir tahun ini lantaran melambatnya konsumsi baja di China.  

Pada penutupan perdagangan Rabu (31/2), harga baja hot rolled sheet menguat 4,1 poin atau 0,66% menjadi US$627,26 per ton, level tertinggi di 2018. Kendati demikian, secara year to date harga melemah 6,95% dari penutupan perdagangan di 2018 di US$583,09 per ton.

Analis Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf Siregar menuturkan bahwa harga baja sepanjang tahun ini diprediksi mengalami tekanan, seiring dengan penurunan permintaan dari China selaku konsumen utama.

“Melambatnya konsumsi China merupakan faktor fundamental yang menekan permintaan baja,” kata Deddy ketika dihubungi Bisnis, Kamis (1/2/2018). Berdasarkan data World Steel Association (WSA), permintaan baja global pada 2018 diperkirakan menurun 1,6% dari tahun lalu.

Produksi baja global pada 2017 tercatat mencapai 1.691,2 juta ton, mengalami kenaikan 5,3% dari 2016 dengan penghasil tertinggi tetap dari China mencapai 831,7 juta ton, meningkat 5,7% dari tahun sebelumnya.

Secara keseluruhan fundamental pasar, data WSA memprediksi bahwa produksi global akan meningkat sebanyak 1.708 juta ton, lebih tinggi dari konsumsi yang diperkirakan hanya sebesar 1.707 juta ton.

Hal itu menunjukkan bahwa di 2018 pasar akan mengalami surplus. “Produksi global dan permintaan global pada tahun ini diperkirakan tidak seimbang,” ungkapnya.

Deddy menambahkan, data purchasing manager index (PMI) China setidaknya menggambarkan bahwa sektor manufaktur di Negeri Tirai Bambu itu mengalami perlambatan, sehingga menjadi indikasi dari pelemahan permintaan global.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Eva Rianti
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper