Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produksi CPO Indonesia & Malaysia Bakal Naik, Ini Sebabnya

Produksi minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) di dua negara produsen utama dunia diperkirakan akan naik di tahun ini seiring dengan pulihnya cuaca dari fenomena iklim El Nino.
Kelapa sawit./Bloomberg-Taylor Weidman
Kelapa sawit./Bloomberg-Taylor Weidman

Bisnis.com, JAKARTA – Produksi minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) di dua negara produsen utama dunia diperkirakan akan naik di tahun ini seiring dengan pulihnya cuaca dari fenomena iklim El Nino.

Menurut jajak pendapat Reuters, output di negara produsen utama Indonesia diperkirakan akan meningkat menjadi 37,8 juta ton, sementara output di Malaysia diperkirakan akan naik menjadi 20,5 juta ton. Hal ini terjadi seiring dengan membaiknya cuaca yang berdampak pada hasil panen yang lebih meningkat.

Indonesia dan Malaysia merupakan negara produsen yang menyumbang hampir 90% dari pasokan global.

Dewan Kelapa Sawit Malaysia/The Malaysian Palm Oil Board (MPOB) melaporkan, produksi CPO Malaysia pada 2017 menghasilkan 19,9 juta ton, sementara Asosiasi Minyak Sawit Indonesia memperkirakan produksi di 2017 mencapai 36,5 juta ton.

“Kami telah mengatasi efek El Nino. 2018 akan menjadi tahun yang lebih normal untuk hasil panen, yang seharusnya meningkat dari tahun lalu,” kata seorang pekebun Indonesia, dilansir dari Malaysia Palm Oil Council (MPOC) yang mengutip The Star.

Selain itu, curah hujan yang cukup besar sejak tahun lalu berpotensi mendorong produksi pada paruh kedua 2018 ini.

Produksi cenderung melambat dari awal tahun hingga Maret, sebelum memuncak pada kuartal ketiga, sejalan dengan tren musiman.

“Pertumbuhan year on year akan kuat di kuartal I dan kisaran pertumbuhan dua digit, namun akan menormalkan pertumbuhan satu digit di kuartal II dan paruh kedua di tahun ini,” kata Alan Lim, analis perkebunan di MIDF Research.

Dari segi harga, dampak dari meningkatnya produksi kelapa sawit tersebut dapat menekan harga dengan mengalami penurunan 7% dari tahun lalu. Harga diproyeksikan rata—rata bergerak menjadi 2.620 ringgit (US$676,30) per ton pada tahun ini, lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 2.807 ringgit per ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Eva Rianti
Sumber : Reuters

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper