Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Performa Saham Emiten Baru: Kisah di Balik Kinerja Cemerlang

Kinerja saham sejumlah emiten yang baru listing di bursa tahun lalu cukup mencengangkan, bahkan menembus tingkat return hingga di atas 3.000%. Hal ini kerap menimbulkan tanya dan rasa penasaran tentang faktor di balik kinerja return gemilang ini.
Karyawan berada di dekat papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (23/1)./JIBI-Abdullah Azzam
Karyawan berada di dekat papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (23/1)./JIBI-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja saham sejumlah emiten yang baru listing di bursa tahun lalu cukup mencengangkan, bahkan menembus tingkat return hingga di atas 3.000%. Hal ini kerap menimbulkan tanya dan rasa penasaran tentang faktor di balik kinerja return gemilang ini.

Ada 5 dari 37 emiten baru tahun lalu yang hingga awal pekan ini sudah mencatatkan return di atas 1.000%. Return tertinggi adalah pada PT Pelayaran Tamarin Samudra Tbk (TAMU) yang mencapai 3.291%.

Sementara itu, 4 emiten lainnya mencatatkan return rata-rata kurang dari setengah capaian return TAMU. PT Sanurhasta Mitra Tbk. (MINA) mencatatkan return 1.624%, PT Kapuas Prima Coal Tbk. (ZINC) 1.111%, PT Totalindo Eka Persada Tbk. (TOPS) 1.090%, dan PT Prima Cakrawala Abadi Tbk. (PCAR) 1.007%.

Kinerja saham PCAR boleh jadi merupakan yang paling fantastis di awal tahun ini, sebab emiten pengolahan dan eksportir rajungan ini baru listing pada hari terakhir perdagangan bursa Efek Indonesia 2017.

Dari antara 37 emiten baru tahun lalu, tercatat hanya 9 emiten yang masih membukukan return saham negatif, sementara ada 12 emiten yang mencatatkan return ratusan persen.

Kinerja yang luar biasa ini boleh jadi akan memikat investor untuk mencoba peruntungan di saham-saham IPO tahun ini. Siapa tahu, akan ada TAMU-TAMU baru yang memberi keuntungan investasi ajaib. Namun, tentu kehatian-hatian perlu menjadi teman setiap investor.

Thendra Crisnanda, Head of Institutional Research MNC Sekuritas, mengatakan bahwa ada dua jenis IPO, yakni pure IPO dan strategic IPO. Pure IPO merupakan IPO yang digelar benar-benar untuk menggalang dana murah dari publik dan menjadi perusahaan publik.

Sementara itu, strategic IPO sering kali tidak benar-benar bertujuan menggalang dana publik, sebab sudah memiliki pembeli siaga. Tidak jarang, strategic IPO hanya bertujuan untuk memperoleh status sebagai perusahaan terbuka guna mengangkat citra perusahaan.

Thendra mengatakan, tidak mengherankan bila kinerja emiten-emiten baru tahun lalu cukup fantastis, sebab IPO tahun lalu cenderung bersifat strategic yang mana porsi saham yang dilepas ke publik sangat terbatas.

Hal ini lantaran perusahaan yang IPO tahun lalu pun kebanyakan memang perusahaan kecil, dengan total nilai emisi hanya Rp9,6 triliun dan 17 emiten di antaranya memiliki nilai emisi kurang dari Rp100 miliar.

Hanya dua emiten yang memiliki nilai emisi di atas Rp1 triliun, yakni PT GMF Aero Asia Tbk. (GMFI) dan PT PP Presisi Tbk. (PPRE). Menariknya, kinerja return GMFI dan PPRE justru masih negatif hingga awal pekan ini.

Menurutnya, dua emiten tersebut menerapkan pure IPO, tetapi sayangnya permintaan pasar terhadap saham anak-anak perusahaan BUMN tidak sebaik tahun-tahun yang lalu. Di sisi lain, pergerakan harga strategic IPO tidak melulu terjadi karena hasil mekanisme pasar.

Dibandingkan faktor fundamental atau sentimen sektoral, menurutnya jenis IPO lebih menentukan kinerja saham emiten-emiten baru tahun lalu. Hal ini menyebabkan investor yang lebih berpengalaman cenderung enggan berpartisipasi dalam IPO.

“Sektor memang mempengaruhi preferensi investor ketika berinvetasi di perusahaan yang baru, tetapi di tengah volatilitas pasar yang tinggi tahun 2017 ini, secara prakteknya sulit bagi emiten untuk menarik dana dari pure IPO,” katanya, Selasa (23/1).

Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, mengatakan bahwa investor ritel Indonesia masih cenderung memburu saham untuk keuntungan instan jangka pendek. Alhasil, mereka mengincar saham IPO hanya untuk mendapat gain di hari-hari pertama perdagangan.

Hal ini justru menyebabkan saham-saham emiten yang pure IPO justru terkoreksi di hari-hari awal, sebab investor ritelnya cenderung ingin segera menjual demi mendapatkan instant profit. Mustahil harga saham meningkat bila banyak pemegang saham justru berlomba menjual, sementara tidak ada investor strategis, penyedia likuiditas atau market maker atas saham pure IPO tersebut.

Hans mengatakan, investor perlu mengubah pola pikir bahwa tunjuan investasi adalah untuk jangka panjang dan IPO bukanlah sarana untuk mendapatkan instant profit. Oleh karena itu, investor perlu lebih dalam mempelajari kinerja perusahaan.

Dirinya juga memandang perlu adanya likuidity profider atau market maker untuk mengelola harga saham agar tidak segera turun pasca IPO hanya karena aksi jual dari investor yang mengejar instant profit.

“Perusahaan juga harus berpikir bahwa IPO bukan exit strategy, tetapi strategi untuk meningkatkan pertumbuhan,” katanya.

Baik Hans maupun Thendra menilai bahwa bila yang disoroti adalah dari sisi sektoralnya dan mengesampingkan faktor jenis IPO, emiten-emiten baru dari sektor konsumer dan infrastruktur akan menjadi yang paling prospektif tahun ini.

Alasannya, kelas menengah yang berlimpah di Indonesia, banyaknya even penting tahun ini serta berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah paling menguntungkan bagi kedua sektor ini. Indeks kedua sektor ini pun membaik di awal tahun ini, kendati tahun lalu sektor konstruksi memerah.

Hans memandang kecenderungan anak usaha BUMN untuk listing tahun ini dengan pure IPO kemungkinan masih akan menyebabkan koreksi di awal perdanganan seperti tahun lalu sebab karakter pasar belum berubah.

Sementara itu, selain kedua sektor di atas, Thendra memandang sektor komoditas, terutama minyak dan gas serta batu bara juga cukup propektif tahun ini. Selain itu, sektor yang terkait leisure, hiburan, juga akan menarik seiring tren kekinian.

Hanya saja, khusus untuk sektor komoditas minyak dan gas akan cenderung mengalami konsolidasi mulai pertengahan tahun hingga akhir 2018. Oleh karena itu, akan lebih menguntungkan bagi emiten di sektor ini untuk listing di semester pertama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Riendy Astria

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper