Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bank Tambah Kepemilikan SBN 50,77%

Kalangan perbankan nasional tercatat telah menambah kepemilikan Surat Berharga Negara senilai 202,79 triliun atau tumbuh 50,77% secara year to date.
Ilustrasi/Bisnis
Ilustrasi/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA—Kalangan perbankan nasional tercatat telah menambah kepemilikan Surat Berharga Negara senilai 202,79 triliun atau tumbuh 50,77% secara year to date.

Hal itu menjadikan perbankan sebagai pemilik SBN dengan peningkatan kepemilikan tertinggi sepanjang tahun ini.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, kepemilikan bank konvensional maupun syariah nasional pada SBN hingga Kamis (7/9/2017) telah mencapai 602,25 triliun.

Sebesar 442,95 triliun di antaranya merupakan kepemilikan pada Surat Utang Negara (SUN), sementara sisanya Rp159,30 merupakan kepemilikan atas Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk.

Adapun, pada akhir 2016, kepemilikan bank pada SBN baru mencapai Rp399,46 triliun. Dengan demikian, sepanjang tahun ini bank tercatat telah melakukan aksi beli bersih pada instrumen SBN senilai Rp202,79 triliun atau 50,77% ytd.

Sebagai pembanding, pertumbuhan kepemilikan perbankan pada SBN sepanjang 2016 lalu hanya Rp49,39 triliun atau 14,11% dari posisi akhir 2015 yang senilai Rp350,07 triliun.

Namun, di tahun sebelumnya kepemilikan perbankan justru turun Rp25,48 triliun atau 6,78% dibandingkan posisi akhir 2014 yang senilai Rp375,55 triliun.

Dari segi persentase terhadap total outstanding, kepemilikan perbankan pada SBN sudah meningkat dari posisi 22,53% pada akhir 2015 menjadi 29,74% pada Kamis (7/9/2017).

Total outstanding akhir 2015 adalah Rp1.773,28 triliun dan Kamis pekan lalu Rp2.025,29 triliun.

Porsi kepemilikan perbankan nasional terhadap SBN sejauh ini memang masih di bawah total kepemilikan asing yang mencapai Rp791,52 triliun atau 39,08% dari total outstanding.

Namun, pertumbuhan kepemilikan oleh perbankan nasional jauh lebih tinggi dibandingkan institusi asing.

Asing tercatat telah melakukan aksi beli bersih pada instrumen SBN senilai Rp125,71 triliun sepanjang tahun ini, yakni dari Rp665,81 triliun pada akhir tahun lalu menjadi Rp791,52 triliun pada akhir pekan lalu.

Dengan kata lain, peningkatan kepemilikan asing pada SBN baru 19% ytd.

Sementara itu, institusi dalam negeri lainnya juga mencatatkan peningkatan kepemilikan yang terbatas. Reksadana atau mutual fund tumbuh dari Rp85,66 triliun menjadi Rp95,65 triliun atau 11,66% ytd, dan asuransi dari Rp238,24 triliun menjadi Rp257,41 triliun atau 8,05% ytd.

Di sisi lain, dana pensiun malah turun dari Rp87,28 triliun menjadi Rp87,18 triliun atau turun 0,11%, padahal OJK mewajibkan mereka untuk menambah investasi di instrumen SBN, setidaknya minimal 30% dari total investasi.

I Made Adi Saputra, analis obligasi MNC Sekuritas, mengatakan, turunnya kepemilikan dana pensiun pada SBN kemungkinan karena mereka lebih memilih obligasi korporasi BUMN infrastruktur, sesuai revisi kewajiban itu dalam POJK 36/POJK.05/2016.

Hal ini tidak terlepas dari target return yang diharapkan pendiri, mengingat obligasi korporasi menawarkan yield lebih tinggi dibandingkan SBN.

Sementara itu, tuturnya, peningkatan kepemilikan perbankan pada SBN yang sangat tinggi tahun ini boleh jadi karena pertumbuhan penyaluran kredit mereka yang masih belum sesuai harapan.

Akibatnya, perbankan berkepentingan untuk mencari instrumen investasi yang menguntungkan untuk menempatkan kelebihan likuiditasnya. Di sisi lain, Bank Indonesia terus menurunkan suku bunga acuannya, menyebabkan penempatan dana di Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (Fasbi) menjadi tidak menarik lagi.

“Maka, mereka cari yang lebih menarik dan aman, masuklah ke SBN untuk menampung sebagian likuiditas karena kredit mereka kan juga belum tumbuh sesuai yang diharapkan,” ungkapnya pekan lalu.

OJK mencatat pertumbuhan kredit bank per Juli 2017 baru mencapai 8,2% year on year/yoy, sedikit membaik dibandingkan capaian per Juni 2017 yang sebesar 7,75% yoy.

Bank Indonesia pun telah memangkas asumsi pertumbuhan kredit bank dari semula double digit di kisaran 10% hingga 12% menjadi hanya sekitar 8%-10% hingga akhir tahun.

Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. menyebut pihaknya hanya menargetkan pertumbuhan kredit 9% sampai akhir tahun.

Setelah membukukan penurunan penyaluran kredit pada kuartal pertama tahun ini, perseroan baru membukukan pertumbuhan sekitar 7%-8% ytd hingga kuartal kedua tahun ini.

Tingginya permintaan perbankan nasional ini juga dapat menjadi penjelasan mengapa tren harga obligasi terus meningkat sepanjang tahun ini, bahkan melampaui prediksi sejumlah analis.

Hingga Jumat (8/9/2017), indeks harga obligasi komposit Indonesia sudah tumbuh 13,3% ytd dan 9,76% yoy.

Kendati pertumbuhan harga ini menyebabkan yield menjadi semakin rendah, minat perbankan tetap tinggi sebab posisi yield SBN masih jauh lebih baik dibandingkan Fasbi setelah pemangkasan suku bunga acuan 25 bps pada bulan lalu.

Perbankan setidaknya sudah menambah kepemilikan di SBN senilai Rp24,75 triliun sejak pengumuman pemangkasan suku bunga tersebut pada bulan lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper