Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Minyak Memanas Ke US$48, Waspadai Bila Tembus US$50

Harga minyak metah memperpanjang kenaikan ke level tertinggi dalam tujuh minggu terakhir seiring dengan proyeksi menurunnya stok Amerika Serikat. Namun, pasar harus mewaspadai peningkatan harga di atas US$50 per barel akan memicu penambahan suplai.
Harga Minyak WTI/Reuters
Harga Minyak WTI/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA—Harga minyak mentah memperpanjang kenaikan ke level tertinggi dalam tujuh minggu terakhir seiring dengan proyeksi menurunnya stok Amerika Serikat. Namun, pasar harus mewaspadai peningkatan harga di atas US$50 per barel akan memicu penambahan suplai.

Pada perdagangan Rabu (26/7/2017) pukul 8.33 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) kontrak September 2017 naik 0,90% atau 0,44 poin menuju US$48,32 per barel. Adapun harga minyak Brent kontrak September 2017 meningkat 0,66% atau 0,33 poin menjadi US$50,53 per barel.

Laporan American Petroleum Institute (API) menyebutkan stok minyak AS sepekan yang berakhir Jumat (21/7/2017) akan menurun 10,2 juta barel. Adapun data resmi dari data U.S. Energy Information Administration (EIA) akan dirilis Rabu (26/7/2017.)

Sebelumnya, pada Rabu (19/7/2017) data EIA menunjukkan stok minyak AS sepekan yang berakhir Jumat (14/7/2017) turun 4,73 juta barel menuju 490,62 juta barel. Ini merupakan level terendah sejak 20 Januari 2017.

Chief Strategist CMC Markets di Sydney Michael McCarthy menuturkan harga minyak memanas karena proyeksi berkurangnya stok AS. Selain itu, Arab Saudi berencana mengurangi ekspor.

McCarthy berpendapat ketika harga minyak berada di level US$40-an per barel produsen secara cepat mengambil tindakan untuk mengatasi surplus. Namun, pasar perlu mewaspadai ketika harga melewati US$50 per barel ada kemungkinan suplai kembali bertambah.

“Sulit memperkirakan kapan pasar menuju keseimbangan karena bergantung harganya. Minyak di level US$40 akan cepat memacu pasar menuju keseimbangan, tetapi di atas US$50 berpotensi meningkatkan pasokan,” tuturnya seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (26/7/2017).

Sebelumnya Menteri Energi dan Industri Arab Saudi Khalid Al-Falih menyampaikan, Arab Saudi akan mengurangi ekspornya sebesar 1 juta barel menjadi sekitar 6,6 juta barel.

Pada Senin (24/7/2017), OPEC dan non-OPEC melakukan pertemuan di Rusia untuk membahas kinerja pemangkasan produksi. Kedua belah pihak menyetujui untuk mengurangi suplai sekitar 1,8 juta bph pada Januari 2017—Maret 2018.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Editor : Riendy Astria
Sumber : bloomberg

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper