Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Daya Beli Turun, IHSG Diyakini Masih Bisa Tembus 6.000 Tahun Ini

Perekonomian Indonesia dinilai semakin membaik dibandingkan dengan tahun lalu, sehingga indeks harga saham gabungan pada tahun ini diyakini masih dapat menembus level di atas 6.000 meskipun pertumbuhan indeks sedikit lebih rendah dari proyeksi awal 17,67% menjadi 16,6%.
Ilustrasi/JIBI
Ilustrasi/JIBI

Bisnis.com, JAKARTA - Perekonomian Indonesia dinilai semakin membaik dibandingkan dengan tahun lalu, sehingga indeks harga saham gabungan pada tahun ini diyakini masih dapat menembus level di atas 6.000 meskipun pertumbuhan indeks sedikit lebih rendah dari proyeksi awal 17,67% menjadi 16,6%.

Budi Hikmat, Director Investor Relation and Chief Economist Bahana TCW Investment Management memaparkan, masih ada hal-hal yang membuat perekonomian tidak dapat melesat kencang seperti yang diharapkan, akibat beberapa hal yang membebani laju perekonomian, baik dari dalam dan luar negeri.

Tantangan internal yang terjadi antara lain adalah daya beli yang menurun. Penurunan ini disebabkan karena penurunan harga komoditas, kenaikan harga-harga yang diatur pemerintah dan perubahan pola konsumsi masyarakat.

Di pasar komoditas, harga minyak tertekan karena kelebihan pasokan. Penurunan harga minyak juga mempengaruhi harga karet alam. Permintaan komoditas lain yaitu minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO) dari China menurun, sehingga membuat harganya yang sudah perlahan naik pun menjadi tertahan bahkan cenderung turun. Penurunan harga komoditas ini berdampak pada pendapatan masyarakat.

Inflasi pada paruh pertama tahun ini tercatat sebesar 2,38%. Jika di telusuri lagi, terlihat bahwa inflasi akibat harga-harga yang diatur oleh pemerintah (administered inflation) naik paling tinggi. Sejak awal tahun hingga akhir Juni lalu, administered inflation naik 7,8%, paling tinggi di antara pembentuk inflasi lainnya. Hal yang termasuk administered inflation antara lain adalah harga listrik, harga bahan bakar dan harga gas. Inflasi kedua tertinggi adalah rumah, sebesar 4,24% dan transportasi serta komunikasi sebesar 4,2%.

“Ketika harga-harga yang ditetapkan pemerintah naik, orang cenderung akan mengurangi pemakaiannya, atau memangkas pos pengeluaran lain. Sehingga, bisa jadi masyarakat jadi menunda pembelian baju,” ujar Budi dalam siaran pers yang diterima Bisnis.com, Rabu, 26 Juli 2017.

Budi menjelaskan, kenaikan harga yang dibarengi pula dengan penurunan harga komoditas membuat masyarakat menahan diri untuk tidak terlalu banyak berbelanja. Pola belanja pun sudah berubah. Konsumen tidak lagi datang ke toko, melainkan lebih senang berbelanja secara online.

Menurut Budi, pemerintah menyadari keadaan tersebut. Pada revisi RAPBN, pemerintah menambah subsidi dan berkomitmen untuk tidak menaikan harga lagi. Selain itu, pemerintah juga mengajukan defisit anggaran yang lebih besar agar dapat memberikan stimulus terhadap pertumbuhan. Tidak hanya pemerintah, Bank Indonesia pun memberikan fasilitas ekspor yang beragam.

“Dampaknya, proyeksi indeks agak turun, [proyeksinya tumbuh] 16,6% menjadi 6.174 dari [proyeksi awal tumbuh] 17,67%,” sebut Budi.

Bahana TCW tetap optimistis dengan perkembangan pasar saham dan obligasi hingga akhir tahun nanti. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan mencapai 5,1%, dengan laju inflasi 4,3% dan rata-rata kurs rupiah terhadap dolar AS pada Rp13.450. Setelah pemeringkat S&P memberikan kenaikan peringkat Mei lalu, diperkirakan para investor institusi asing yang konservatif masih terus masuk ke pasar obligasi dan membuat harga obligasi meningkat.

Selain faktor dalam negeri, ada pula faktor dari luar negeri yang akan mempengaruhi perekonomian Indonesia yaitu langkah yang diambil oleh bank sentral AS Federal Reserve. Pada risalah pertemuan Juni lalu, disebutkan rencana bahwa Fed akan mengurangi asetnya sebesar US$10 miliar dan menaikkan suku bunga.

Pengurangan aset bank sentral tersebut seiring dengan membaiknya perekonomian AS. Beberapa indikator memang menunjukkan perbaikan seperti indeks kepercayaan konsumen yang membaik, indeks perumahan yang naik, juga data ketersediaan lapangan pekerjaan yang lebih banyak.”Tetapi konsensus menyatakan bahwa Fed akan menaikkan bunganya secara bertahap,” ungkap Budi.

Kenaikan bunga Fed kali ini diperkirakan juga tidak akan direspons negatif dan memberikan dampak negatif kepada perekonomian Indonesia. Situasi saat ini berbeda sekali dengan situasi ketika mantan Gubernur Fed Bernanke mengumumkan Fed akan mengurangi belanja obligasinya (tapering off). Current account deficit cukup besar ketika Bernanke mengumumkan langkah Fed tersebut pada Mei 2013 lalu, terjadi peralihan aset dari negara berkembang dan membuat saham, obligasi, rupiah melemah.

Keadaan berbeda pada tahun ini. Fundamental Indonesia lebih kuat, cadangan devisa sempat mencapai rekor pada Mei lalu. Sehingga rencana-rencana Fed pun tidak terlalu berdampak traumatis terhadap pasar keuangan di dalam negeri.

Nilai tukar rupiah misalnya, hanya mendatar saja. Indeks saham gabungan pun hanya bergerak turun 0,4%, demikian pula dengan yield Surat Utang Negara bertenor 10 tahun, hanya naik 10 basis poin saja. “Sehingga kebijakan kenaikan suku bunga Fed memang memengaruhi, tetapi tidak traumatis seperti ketika ada pergantian arah kebijakan Fed pada masa Bernanke,” jelas Budi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Fajar Sidik
Editor : Fajar Sidik

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper