Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Komoditas Minyak Menanti Kejutan OPEC Selanjutnya

Rapat OPEC pada 25 Mei 2017 menjadi agenda utama yang menjadi fokus pasar terkait masa depan minyak mentah. Mereka harap-harap cemas menanti kejutan apalagi yang akan diberikan organisasi.
Suasana sidang OPEC di Wina, Austria/Reuters-Heinz-Peter Bader
Suasana sidang OPEC di Wina, Austria/Reuters-Heinz-Peter Bader

Bisnis.com, JAKARTA - Rapat OPEC pada 25 Mei 2017 menjadi agenda utama yang menjadi fokus pasar terkait masa depan minyak mentah. Mereka harap-harap cemas menanti kejutan apalagi yang akan diberikan organisasi.

Kejutan pertama Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam setahun terakhir datang dari rapat organisasi pada 30 November 2016. Mereka memutuskan memangkas produksi hingga 1,2 juta barel per hari (bph) pada paruh pertama 2017 untuk memperbaiki harga minyak di pasar global.

Sadar tidak bisa bergerak sendiri, OPEC secara intens menjalin komunikasi dengan sejumlah negara produsen minyak perihal upaya menyeimbangkan volume suplai dan permintaan. Akhirnya pada 10 Desember 2016, sembilan negara produsen lain seperti Rusia dan Meksiko, yang kerap disebut sebagai pihak non OPEC, setuju ikut pemangkasan pasok 558.000 bph.

Artinya, pemangkasan produksi yang berlangsung pada Januari 2017-Juni 2017 dengan target sekitar 1,8 juta bph. Tercapainya perjanjian ini kembali mengejutkan pasar karena terakhir kali OPEC dan non-OPEC mencapai mufakat terjadi pada 2001 silam.

Namun, harga minyak mentah tidak kunjung memanas karena masih bertumbuhnya suplai dari sejumlah negara produsen utama, seperti Amerika Serikat. Kubu internal OPEC sendiri belum padu karena ada beberapa negara yang belum mencapai target pemangkasan produksi.

Oleh karena itu, OPEC membuka kemungkinan memperpanjang masa pemangkasan suplai hingga paruh kedua 2017. Kesepakatan perpanjangan itu akan diputuskan dalam rapat para menteri negara anggota OPEC pada 25 Mei 2017 di Wina, Austria.

VP of Market Research FXTM Jameel Ahmad mengatakan setelah pemilu presiden Prancis terlewati, investor akan mengalihkan perhatian kepada rapat OPEC di Wina. Pasar harus bersiap menghadapi perubahan volatilitas dua arah harga minyak terkait hasil rapat ini.

Selama ini, negara-negara produsen secara terbuka membicarakan prospek perpanjangan kesepakatan pemangkasan produksi saat ini. Namun, sentimen tersebut tidak berpengaruh besar karena tantangan meningkatnya produksi minyak shale AS.

"Ada korelasi yang antara pasokan minyak shale AS yang semakin meningkat beberapa bulan terakhir. Ini jelas akan sangat membebani pikiran seluruh menteri perminyakan OPEC maupun non-OPEC dalam rapat mendatang," paparnya dalam riset yang dikutip Kamis (11/5/2017).

Menurutnya, sejarah membuktikan rapat OPEC tak jarang memberi kejutan. Oleh karena itu, ada setidaknya dua kemungkinan skenario risiko yang perlu diperhatikan investor menjelang rapat 25 Mei.

Pertama, walaupun OPEC saat ini berkomitmen mengurangi produksi, kesepakatan tersebut akan berakhir bulan depan. Pasar meyakini kesepakatan perlu diperpanjang, sehingga ada risiko kejutan besar apabila OPEC memutuskan untuk menundanya.

"Penundaan pemangkasan produksi sebenarnya cukup wajar karena bertujuan mencegah semakin besarnya suplai minyak shale AS," tuturnya.

Apabila OPEC dan non-OPEC sepakat untuk meningkatkan produksi pada paruh kedua 2017, perang volume suplai dapat terjadi. Ini menjadi momentum aksi jual dalam jumlah besar sehingga harga minyak dapat kembali mendingin ke rekor level terendah.

Skenario risiko kedua ialah OPEC dan non-OPEC bukan hanya memperpanjang durasi kesepakatan, tetapi juga mengurangi produksi lebih rendah lagi. Walaupun ini mungkin dianggap sebagai kemenangan bagi minyak shale AS terhadap OPEC dalam perang produksi, harga minyak akan memanas lebih tinggi.

Namun, sambung Jameel, keputusan tersebut memperlemah kredibilitas para produsen minyak OPEC yang beberapa tahun lalu masih sepenuhnya menguasai produksi minyak global. Kali ini pasar akan melihat apakah OPEC dan non-OPEC bersedia untuk kehilangan muka karena kalah terhadap minyak shale AS demi mendapatkan peningkatan pendapatan.

Analis PT Asia Trade Point Futures Andri Hardianto menyampaikan, tren jangka panjang harga minyak bergantung kepada keseriusan OPEC dalam mengurangi produksi.  Sayangnya, internal OPEC pun belum satu suara perihal rencana tersebut.

Perbedaan suara terjadi karena berkaitan dengan investasi di sumur-sumur minyak masing-masing negara. Adanya pemangkasan produksi membuat kapasitas penambangan dari sumur akan berada di bawah volume normal, sehingga dianggap merugikan dari sisi investasi.

Menurut Andri, pelaku pasar cenderung bersikap pesimis terhadap perjanjian pemangkasan produksi OPEC dan non-OPEC. Oleh karena itu, sampai akhir semester I/2017 harga minyak WTI masih akan berada di bawah US$47 per barel.

Bahkan pada 2017 harga WTI sulit kembali menembus level US$50 per barel karena pasar mengalami kelebihan pasokan sekaligus perlambatan permintaan.

Head of commodities research at Goldman Sachs Group Inc., Jeffrey Currie mengatakan pasar minyak akan kembali seimbang dan pulih jika OPEC melaksanakan perpanjangan pemangkasan produksi pada paruh kedua 2017.

Dengan berkurangnya suplai dan bertumbuhnya permintaan, ada kemungkinan pasar mengalami defisit sebesar 2 juta barel pada Juli 2017.

Goldman menjadi salah satu analis yang percaya perpanjangan dan penambahan volume pemangkasan produksi akan dilaksanakan pada paruh kedua tahun ayam api. Oleh karena itu, pada kuartal IV/2017 harga WTI akan memanas menuju US$55 per barel, dan Brent mencapai U$57 per barel.

Pada perdagangan Kamis (11/5/2017) pukul 16:00 WIB, harga minyak WTI kontrak Juni 2017 naik 0,58 poin atau 1,23% menuju US$47,91 per barel. Sementara minyak Brent kontrak Juli 2017 meningkat 0,53 poin atau 1,06% menjadi US$50,75 per barel.

Greg McKenna, chief market strategist CFD and FX provider AxiTrader, mengatakan stok AS yang menurun lebih dari 5 juta barel dan rencana pemotongan produksi OPEC memanaskan harga minyak kembali.

Pada Rabu (10/5/2017) waktu setempat, U.S. Energy Information Administration (EIA) melansir data stok minyak AS dalam sepekan yang berakhir Jumat (5/5) turun 5,25 juta barel menjadi 522,53 juta barel. Merosotnya persediaan akibat pengurangan volume impor.

Sementara tingkat produksi minyak AS naik 21.000 barel per hari (bph) menuju 9,31 juta barel per hari (bph), yang menjadi level tertinggi sejak Agustus 2015. Angka ini juga menunjukkan volume produksi bertumbuh 13 pekan berturut-turut, atau peningkatan terpanjang sejak 2012.

Selain itu, persediaan bensin sepekan meurun 3,6 juta barel. Sentimen ini mengindikasikan bertumbuhnya permintaan dari Paman Sam.

Sampai agenda pada 25 Mei nanti, agaknya pasar masih bersikap wait and see sambil mencari sinyal-sinyal pembahasan rapat. Di samping itu, pasar menyorot faktor fundamental, terutama masalah suplai AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper