Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Tembaga Diprediksi Bullish

Harga tembaga diprediksi mengalami tren bullish akibat harga yang masih berada di level rendah dapat memicu kenaikan permintaan.
Tembaga/Reuters
Tembaga/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Harga tembaga diprediksi mengalami tren bullish akibat harga yang masih berada di level rendah dapat memicu kenaikan permintaan.

Pada penutupan perdagangan Kamis (20/4/2017), harga tembaga di bursa London Metal Exchange (LME) meningkat 67 poin atau 1,21% menuju US$5.623 per ton. Sepanjang tahun berjalan, harga naik 1,58%.

Dalam survei Bloomberg yang dipublikasikan Jumat (21/4/2017) dengan melibatkan 20 responden mencakup analis dan trader, 9 di antaranya menilai harga tembaga bullish, 7 narasumber bersikap netral, dan 4 sisanya memprediksi bearish.

Menurut survei, harga tembaga yang saat ini berada di level rendah dapat memacu permintaan. Namun, harga memang sedang tertekan akibat belum pulihnya permintaan China dan kesulitan Presiden AS Donald Trump dalam memacu belanja infrastruktur.

Sementara itu, Goldman Sachs Group Inc., dalam risetnya memaparkan, harga tembaga juga ditopang adanya gangguan suplai dari tambang Grasberg, Indonesia. PT Freeport Indonesia (PTFI) selaku pengelola masih enggan melakukan ekspor.

PTFI sebenarnya sudah mendapat jatah volume ekspor sebanyak 1,11 juta wet metric ton (WMT) konsentrat tembaga. Namun, perusahaan tidak bisa melakukan pengiriman ke luar negeri karena belum bersedia mengubah status perizinan dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Dari sisi permintaan, Goldman meyakini konsumsi China bakal pulih. "Dalam 6-12 bulan ke depan, harga tembaga cenderung bullish," papar riset.

Dalam risetnya, Citigroup Inc. menyampaikan rerata harga tembaga pada 2017 akan meningkat menjadi US$6.040 per ton, dan 2018 senilai US$6.425 per ton. Faktor utama yang memengaruhi ialah kondisi pasar global yang mengalami defisit suplai.

Ed Morse, kepala analis Citigroup, mengungkapkan defisit pasar tembaga global cenderung akan meningkat dalam tiga tahun ke depan. Pada 2017, jumlah defisit mencapai 145.000 ton, 2018 sebesar 152.000 ton, dan 2019 menjadi 242.000 ton.

"Pemogokan kerja dan gangguan pasokan membawa dampak turunnya produksi," papar Morse seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (18/4/2017).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Editor : Fajar Sidik
Sumber : bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper