Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga CPO 14 Maret: Pembeli Menahan Diri

Harga minyak kelapa sawit atau CPO mengalami tekanan akibat prospek perlambatan permintaan. Namun, harga diperkirakan meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi jelang bulan Ramadan.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA--Harga minyak kelapa sawit atau CPO mengalami tekanan akibat prospek perlambatan permintaan. Namun, harga diperkirakan meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi jelang bulan Ramadan.

Pada penutupan perdagangan di Bursa Malaysia Jumat (14/4), harga CPO kontrak Juni 2017 merosot 12 poin atau 0,47% menuju 2.554 ringgit (US$579,49) per ton. Sepanjang tahun berjalan, harga anjlok 13,42%.

Pada kuartal I/2017, harga CPO terkoreksi 10,31%. Tahun lalu, harga meningkat 25% dan menembus level 3.000 ringgit per ton.

Alan Lim, analis MIDF Amanah Investment Bank Bhd., memaparkan harga CPO sedang mengalami tekanan akibat menurunnya permintaan. Saat ini, ada kecenderungan negara importir utama seperti India menunda waktu pembelian untuk mendapatkan harga yang lebih rendah.

"Pembeli menunggu pemulihan produksi akibat cuaca, sehingga bisa mendapatkan harga yang lebih murah," tuturnya seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (14/4).

Berdasarkan data Malaysian Palm Oil Board (MPOB), ekspor CPO Malaysia pada Maret 2017 meningkat 14,3% month on month (mom) menjadi 1,26 juta ton dari 1,11 juta ton. Namun, angka ini merosot 5,1% year on year (yoy) dibandingkan 1,33 juta ton pada Maret 2016.

Indonesia juga mengalami penurunan ekspor. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pengapalan pada Februari 2017 turun 6,45% mom menjadi 2,65 juta ton dari sebelumnya 2,83 juta ton.

Selain itu, sambung Lim, harga sedang tertekan oleh proyeksi menurunnya impor dari Uni Eropa terkait masalah kampanye lingkungan. Padahal berdasarkan data Bank Dunia, pasar Benua Biru merupakan konsumen terbesar ketiga di dunia.

MIDF mempertahankan proyeksi rerata harga CPO pada 2017 bakal lebih baik dengan pertumbuhan 3,81% yoy menuju 2.725 ringgit per ton dari sebelumnya 2.625 ringgit per ton akibat penguatan dolar AS terhadap ringgit. Mata uang tersebut semakin perkasa dengan estimasi pengerekan suku bunga Federal Reserve sebanyak tiga kali pada tahun ini.

Sementara itu, Putu Agus Pransuamitra, Research and Analyst PT Monex Investindo Futures, mengatakan harga CPO bakal mendapatkan sentimen positif dari proyeksi meningkatnya permintaan dari India dan negara-negara di Timur Tengah menjelang Ramadan. Kendati bulan puasa baru dilaksanakan pada pekan terakhir Mei 2017, investor sudah melakukan antisipasi awal.

"Biasanya sebelum ada perubahan dari sisi fundamental, aksi spekulasi dimulai terlebih dahulu, sehingga harga bergerak duluan" tuturnya.

Faktor inilah yang membuat harga CPO cenderung menurun pada kuartal I/2017. Investor sudah cenderung melakukan aksi jual karena mengantisipasi pemulihan produksi di Indonesia dan Malaysia. Pasalnya, pelaku pasar menilai hambatan cuaca dari El Nino dan La Nina terhadap sisi suplai relatif berkurang.

Padahal, pemulihan suplai masih belum terlihat sampai Februari 2017. Diperkirakan volume produksi baru akan bertambah signifikan pada paruh kedua tahun ayam api.

Namun, harga CPO juga mendapat sentimen negatif dari merosotnya harga minyak kedelai sebagai komoditas subtitusi. Pada perdagangan Kamis (13/4), harga minyak kedelai kontrak Juli 2017 di bursa Chicago Board of Trade (CBOT) merosot 0,25% menuju US$31,38 sen per pon. Sepanjang tahun berjalan, harga turun 10,67%.

Harga CPO dan minyak kedelai memang berbanding lurus. Pada awal tahun 2017, ada kekhawatiran suplai pengalami peningkatan di negara produsen utama seperti AS, Brasil, dan Argentina.

Proyeksi bertumbuhnya suplai tidak diikuti prospek permintaan, terutama konsumsi biodiesel dari AS. Hal ini membuat harga minyak kedelai cenderung merosot.

Pada kuartal II/2017, Putu memprediksi harga CPO cenderung mengalami penguatan karena melesatnya permintaan dan volume suplai yang masih terbatas. Harga diperkirakan berada di posisi 2.750 ringgit-2.880 ringgit per ton pada akhir Juni 2017.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper