Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Emiten Tekstil Waspadai Sentimen China

Emiten tekstil dan pemerintah Indonesia dinilai perlu berkolaborasi dengan memiliki strategi yang kuat dan berkelanjutan untuk menghadapi sentimen China yang ingin memperkuat pasar domestik mereka akibat ledakan populasi di Negeri Tirai Bambu.

Bisnis.com, JAKARTA – Emiten tekstil dan pemerintah Indonesia dinilai perlu berkolaborasi dengan memiliki strategi yang kuat dan berkelanjutan untuk menghadapi sentimen China yang ingin memperkuat pasar domestik mereka akibat ledakan populasi di Negeri Tirai Bambu.

Prama Yudha Amdan, Executive Assistant to President Director PT Asia Pacific Fibers Tbk. (POLY) mengatakan China mengerem investasi ke luar negeri dan mulai kembali ke ekonomi domestik. Bahkan, langkah itu lebih cepat dari prakiraannya dan akan terjadi pada 2020.

Dia menilai ketidakpastian investasi yang dijadikan alasan resmi agaknya menjadi indikasi kalau demographic bomb China datang lebih awal. Oleh karena itu, dia berharap agar industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tidak terlena dengan impor bahan baku murah.

“Jadi ya kalau kita tidak selamatkan industri dalam negeri sekarang karena terlena impor murah, bisa-bisa kita akan masuk jebakan jadi net importer bahan baku dengan biaya tinggi pada saat semua komoditas kembali ke negara asalnya [China],” katanya saat dihubungi, Kamis (16/3/2017).

Sebelumnya, dia menjelaskan jika pengganti serat alam adalah polyester. Sementara, produksi kapas (cotton) sudah tidak bisa bertumbuh lagi di domestik sehingga bahan baku impor. Sementara, untuk polyester kapasitas di domestik lebih dari cukup.

Hanya saja, kelebihan kapasitas untuk polyester di domestik belum termanfaatkan karena impor yang murah, khususnya dari China. Oleh karena itu, dia berharap, pemerintah memiliki fokus pada industri TPT baik hulu, tengah maupun hilir, karena selama ini telah terbuai dengan harga murah internasional.

“Sedangkan sektor TPT sedang struggling. Kalau buying time terus, 2025 kita jadi importer, karena perusahaannya tidak diberikan insentif dan dukungan khususnya di hulu. Kita prediksi 2030 excess capacity China selesai, sehingga yang selama ini mereka [China] ekspor balik lagi,” katanya.

Pada awal Desember 2016, pemerintah menjanjikan bakal memperbaiki tata niaga importasi bahan baku TPT yang dinilai ada penyalahgunaan izin sehingga bahan baku tersebut melebihi dari jumlah yang dibutuhkan.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto kala itu menilai saat ini prosedur untuk importasi bahan baku TPT sangat mudah. Hanya saja, lanjutnya, ada penyalahgunaan izin untuk impor sehingga melebihi dari yang dibutuhkan.

“Ini yang kita akan tata ulang. Ini kita beresin dulu. Tata niaga kita atur,” katanya kala itu.

Sementara itu, pihaknya bakal mendorong utilitas pabrik di dalam negeri agar menekan impor produk TPT. Selain itu, juga mendorong untuk membuka pasar-pasar non tradisional seperti negara-negara di Kawasan Afrika.

Airlangga menargetkan pada tahun 2017, pertumbuhan utilitas pabrik TPT domestik harus bisa melebihi 10%. Pasalnya, dia menilai jika pihaknya menginginkan angka pertumbuhan utilitas yang tinggi. Hanya saja, utilisasi di hulu lebih rendah karena kalah persaingannya.

Kekalahan persaingan tersebut salah satunya disebabkan karena adanya perjanjian internasional oleh sejumlah negara dengan pasar Eropa atau Amerika Serikat. “[Negara ] yang lain ada bilateral agreement. Negara pesaing kita bea masuk 0. Kita kena 10%-17,5%. Ini yang ke depan akan dinegosiasiakan,” katanya.

PERSOALAN DOMESTIK

Yudha mengungkapkan salah satu persoalan di domestik adalah harga gas yang masih cukup tinggi. Selain digunakan untuk pembangkit listrik, gas alam juga diekstraksi menjadi purified terephthalic acid (PTA) untuk bahan baku polyester.

Padahal, pemerintah telah memiliki aturan soal harga gas untuk industri maksimum US$6 per MMBtu. Hanya saja, Yudha mengungkapkan hingga saat ini industri TPT belum merasakan dampak dari beleid itu.

“Jangankan 6 dolar, 7 dolar saja kami sudah happy,” katanya.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengatakan dalam rapat kabinet terbatas pada awal Desember itu, dibahas bagaimana Indonesia menggenjot aspek-aspek fundamental untuk daya saing, khususnya pada industri TPT.

Menurutnya, ada sejumlah komponen yang menentukan daya saing dalam industri tersebut. Pertama, soal harga gas. Oleh karena itu, lanjutnya, Presiden Joko Widodo dan Menko Perekonomian sangat fokus pada harga gas bagi industri. Kedua, harga listrik. Komponen ini, lanjutnya, sangat menentukan bagi ongkos produksi. Ketiga, perburuhan. Komponen ini tidak hanya tingkat upahnya tapi juga keterampilan dan jam kerja harus lebih ditingkatkan.

“Kita menginginkan produktivitas buruh naik, sehingga ada basis upah naik. Tapi nggak bisa upah naik, produktivitasnya sama saja atau menurun. Itu nggak bisa, kita malah kehilangan daya saing,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Lukas Hendra TM
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper