Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Aluminium Diprediksi Capai US$2.100

Harga aluminium diprediksi mengalami tren bullish dan mencapai level US$2.100 per ton pada akhir 2017 seiring dengan pengurangan suplai dari China sebagai produsen sekaligus konsumen terbesar di dunia.

Bisnis.com, JAKARTA--Harga aluminium diprediksi mengalami tren bullish dan mencapai level US$2.100 per ton pada akhir 2017 seiring dengan pengurangan suplai dari China sebagai produsen sekaligus konsumen terbesar di dunia.

Pada penutupan perdagangan Jumat (3/3), harga alumunium di London Metal Exchange turun 19 poin atau 0,09% menjadi US$1.892 per ton. Angka ini menunjukkan kenaikan 11,75% sepanjang tahun berjalan (year ton date/ytd), tertinggi dibandingkan logam lainnnya.

Tahun lalu, harga aluminium tumbuh 12,34%. Per 30 Desember 2016, harga berada di posisi US$1.693 per ton.

Jeffrey Currie dan Yubin Fu, analis Goldman Sachs Group Inc., memaparkan rencana China memangkas produksi aluminium dan alumina menjadi faktor utama yang mengubah peta pasar.

"Kebijakan yang bertujuan mengurangi polusi udara ini diperkirakan membuat pasar global mengalami defisit pasokan, sehingga harga bakal menguat," paparnya dalam riset, Senin (6/3).

Pengurangan produksi diperkirakan mencapai 1 juta ton pada 2017, dan bertambah menjadi 2 juta ton pada 2018. Dalam dua tahun ini, rerata defisit pasar aluminium sekitar 300.000 ton per tahun.

Sebelumnya, Ministry of Environmental Protection (MEP) China mengarahkan pelaku usaha agar mengurangi poduksi sekitar 30% untuk industri smelter aluminium dan sejumlah 50% untuk industri penyulingan di provinsi Shandong, Shanxi, Hebei, dan Henan. Kebijakan ini berlangsung mulai November 2016 sampai dengan Maret 2017.

Keempat provinsi ini berkontribusi terhadap 20% total produksi aluminium global. Oleh karena itu, harga logam anti karat ini berada dalam tren bullish.

Goldman memprediksi, harga pada akhir kuartal I/2017 mencapai US$1.950 per ton, kuartal II/2017 US$2.00 per ton, dan kuartal terakhir senilai US$2.100 per ton.

Jeffrey Currie dan Yubin Fu menambahkan, sebetulnya selain karena faktor lingkungan, kebijakan pengurangan produksi China bertujuan menguatkan harga di tingkat global.

"Dengan reformasi dari sisi suplai, harapannya kinerja perusahan alumunium dan alumina meningkat, sehingga turut menyeimbangkan neraca perbankan," ujar keduanya.

Berdasarkan data Bank Dunia, China merupakan produsen sekaligus konsumen aluminium terbesar di dunia. Pada 2015, produksi Negeri Panda mencapai 31,41 juta ton dari total global 57,34 juta ton, sedangkan konsumsi sebesar 31,07 juta ton dari total global 57,08 juta ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Editor : Rustam Agus

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper