Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS Kerek Produksi, Sentimen Batu Bara Masih Didominasi China

Harga batu bara diprediksi masih memanas seiring dengan proyeksi berkurangnya produksi dari China, meskipun Amerika Serikat bakal meningkatkan volume suplai.
Kegiatan penambangan batu bara di Palaran, Samarinda, Kalimantan Timur/Reuters-Zevanya Suryawan
Kegiatan penambangan batu bara di Palaran, Samarinda, Kalimantan Timur/Reuters-Zevanya Suryawan

Bisnis.com, JAKARTA--Harga batu bara diprediksi masih memanas seiring dengan proyeksi berkurangnya produksi dari China, meskipun Amerika Serikat bakal meningkatkan volume suplai.

Pada penutupan perdagangan Senin (20/2), harga batu bara Newcastle kontrak Februari 2017 meningkat 0,2 poin atau 0,25% menjadi US$80,1 per ton. Angka ini menunjukkan harga turun 9,39% year to date (ytd).

Tahun lalu, harga mencapai titik terendah US$41,35 per ton pada 18 Januari 2016, dan level tertinggi US$100 per ton pada 11 November 2016. Sepanjang tahun kemarin, harga melonjak 101,87%.

JP Morgan dalam risetnya menyampaikan, National Development and Reform Commission (NDRC) China sedang mempertimbangkan dimulainya kembali pengendalian produksi tambang melalui pengurangan operasi kerja menjadi 276 hari mulai pertengahan Maret 2017. Kebijakan tersebut akan mencakup dua hal, yakni pemantauan (monitoring) industri selama enam bulan ke depan, dan lokasi tambang batu bara yang dipilih.

Penutupan kapasitas produksi merupakan reformasi suplai NDRC yang berlaku sejak tahun lalu untuk menstabilkan harga batu bara. Seperti diketahui, mulai April 2016 pemerintah China menetapkan pemangkasan waktu kerja perusahaan batu bara dari 330 hari per tahun menjadi 276 hari per tahun.

Namun demikian, operasional tambang batu bara sejak September 2016 ditambah untuk menopang tingginya pasokan selama musim dingin. NDRC menyampaikan, semua perusahaan yang sudah memenuhi standar keselamatan bisa memulihkan operasi dari 276 hari menjadi 330 hari.

"Fokus pasar saat ini ialah apakah kebijakan 276 hari kerja akan dilanjutkan setelah Maret 2017. Katalis lain dalam jangka pendek ialah target penutupan kapasitas batu bara untuk 2017," papar Morgan dalam risetnya yang dikutip Bisnis.com, Selasa (21/2/2017).

Sebagai referensi, total penutupan kapasitas tambang batu bara pada 2016 mencapai 290 juta ton, naik dari target awal 250 juta ton.

Menurut Morgan, pemerintah setempat memberikan ambang batas wajar harga batu bara di atas level 500 yuan-570 yuan (US$72,77-US$82,96) per ton. Artinya, bila harga berada di luar rentang tersebut, China akan melakukan langkah-langkah tertentu untuk kembali menstabilkan harga.

Sementara itu, sentimen negatif terhadap pasar batu bara datang dari Amerika Serikat, sebagai produsen terbesar kedua di dunia, yang berencana meningkatkan produksi pada 2017.

Laporan Short Term Energy Outlook (STEO) Februari 2017 dari US Energy Information Administration (EIA) menyebutkan, produksi batu bara AS pada 2016 mencapai 739 juta shot ton (MMst), turun 18% yoy atau 158 MMst dari 2015, dan menjadi level terendah sejak 1978. Hal ini terjadi karena Paman Sam mulai melakukan perpindahan ke gas alam sebagai tenaga pembangkit listrik.

Seiring dengan naiknya harga gas alam, penggunaan batu bara juga akan ditingkatkan. Alhasil produksi batu hitam diperkirakan meningkat sekitar 3% yoy pada 2017.

Wahyu Tribowo Laksono, Analis Central Capital Futures, mengatakan isu terkini yang sedikit menekan pasar batu bara ialah proyeksi peningkatan produksi dari AS. Sejak awal, Presiden AS Donald Trump memang memberikan janji-janji yang pragmatis, termasuk masalah energi.

Sebelumnya, Barack Obama ketika masih menjabat sebagai presiden menekankan penggunaan energi terbarukan dan energi alternatif. Oleh karena itu, Paman Sam mengurangi konsumsi batu bara, dan beralih ke gas alam.

"Mungkin sekarang angin berhembus balik untuk batu bara karena efek Trump. Meski gak bagus buat lingkungan, yang penting bagus bagi AS," ujarnya.

Selain dari AS, potensi penaikan produksi juga datang dari negara lain seperti Indonesia dan Kolombia. Menurut Wahyu, hal ini masih wajar karena peningkatan harga memicu produsen mengerek suplai.

Namun demikian, suplai baru dari sejumlah produsen masih diperkirakan seberapa besar volumenya untuk memengaruhi pasar global. China tetap menjadi faktor utama terhadap pasar batu bara.

"Jadi secara umum bisa diduga harga gak boleh anjlok karena merugikan perusahaan tambang, yang ujung-ujungnya menekan ekonomi China. Tapi harga juga gak bisa mahal, karena mengancam sektor energi atau listrik," tuturnya.

Dalam jangka menengah atau pada kuartal I/2017, Wahyu memprediksi rentang harga berada di kisaran US$70--US$110 per ton. Meski jatuh di bawah US$82 per ton, harga masih bisa mengalami rebound.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Editor : Fajar Sidik

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper