Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hambatan Produksi, Harga Karet Berpotensi Tembus 320 Yen

Harga karet diprediksi mempertahankan penguatan pada kuartal I/2017 seiring dengan berkurangnya produksi akibat cuaca hujan yang melanda sejumlah wilayah di Asia Tenggara.
Karet/ilustrasi
Karet/ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA--Harga karet diprediksi mempertahankan penguatan pada kuartal I/2017 seiring dengan berkurangnya produksi akibat cuaca hujan yang melanda sejumlah wilayah di Asia Tenggara.

Dengan estimasi puncak musim hujan berlangsung hingga Februari 2017, harga karet berpeluang mencapai level 320-325 yen per kg pada triwulan pertama tahun ini.

Pada penutupan perdagangan Senin (16/1) harga karet di Tokyo Commodity Exchange meningkat 2,94% atau 8,8 poin menuju 308,5 yen (US$2,7) per kilogram. Ini merupakan level tertinggi sejak Februari 2013.

Ibrahim, Direktur Utama PT Garuda Berjangka, mengatakan ada sejumlah faktor yang menguatkan harga karet. Dari sisi fundamental, produksi sedang mengalami hambatan akibat jumlah curah hujan yang tinggi di wilayah Asia Tenggara. Puncak musim hujan diperkirakan bakal terjadi pada November 2016 -Februari 2017.

Petani karet umumnya enggan melakukan penyadapan saat curah hujan melimpah, karena getahnya cepat membeku ketika terkena air. Kadar air di dalam getah juga lebih tinggi sehingga membutuhkan upaya lebih dalam proses pengeringan.

Adanya gangguan suplai turut memicu kenaikan permintaan, karena antisipasi kelangkaan pasokan. Alhasil harga karet mengalami menghijau.

Selain faktor fundamental, lanjut Ibrahim, harga karet juga dipengaruhi nilai tukar yen dan harga minyak. Mata uang Jepang itu menjadi patokan karena bursa karet global mengacu pada harga di Tokyo Commodity Exchange.

Bila yen mengalami pelemahan, maka harganya menjadi lebih murah bagi pembeli yang menggunakan denominasi mata uang lain. Sentimen ini turut memberikan dorongan terhadap harga.

Sejak pekan kedua November 2016 atau setelah pelantikan Presiden AS Donald Trump, mata uang yen mendapatkan tekanan dari dolar AS. Kondisi ini diperparah setelah Federal Reserve mengerek suku bunga pada pertengahan Desember 2016.

Kini, dolar AS mengalami periode bullish seiring dengan rencana The Fed mengerek suku bunga lanjutan sebanyak tiga kali pada 2017, dan proyeksi pertumbuhan ekonomi Paman Sam di bawah kendali Trump.

Pada perdagangan Senin (16/1) pukul 17:12 WIB, mata uang yen meningkat 0,34 poin atau 0,3% menjadi 114,16 per dolar AS. Adapun indeks dolar menghijau 0,48 poin atau 0,47% menuju 101,66.

Sementara itu, penguatan harga minyak mentah sebagai komoditas strategis turut memengaruhi sejumlah soft commodity seperti karet, minyak kelapa sawit, jagung, dan jagung. Harga masih bertahan di atas US$50 per barel dan diperkirakan bakal memanas seiring dengan realisasi pemangkasan produksi.

Dengan sejumlah sentimen yang membayangi karet, terutama dari sisi pengurangan produksi, harga berpeluang menuju 325 yen per kilogram pada kuartal I/2017.

"Puncak musim hujan diperkirakan berlangsung sampai Februari 2017. Ini menjadi pendorong utama kenaikan harga karet, di samping faktor-faktor lain seperti nilai tukar mata uang dan harga minyak," ujarnya saat dihubungi Bisnis.com, Senin (16/1/2017).

Dalam jangka panjang, tingkat konsumsi komoditas bahan baku ban ini juga terdorong pertumbuhan permintaan sektor otomotif.

Ibrahim mengatakan, kendaraan tidak lagi menjadi kebutuhan mewah, tetapi kebutuhan primer. China dan AS sebagai negara konsumen terbesar di dunia diperkirakan masih akan menggenjot permintaan otomotif.

Naiknya tingkat konsumsi karet global juga berdasar kepada proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia periode 2017 versi World Bank sebesar 2,7%, dari 2,3% pada 2016.

Korakod Kittipol, Marketing Manager Thai Hua Rubber Pcl., perusahaan produsen dan distributor karet di Thailand, mengatakan harga karet di bursa Tokyo berpeluang mencapai 320 yen atau US$2,8 per kg pada kuartal I/2017 karena menurunnya suplai. Pada Januari, produksi setidaknya dapat menurun 100.000 ton.

"Belum pasti berapa lama situasi ini [hujan deras] dapat berlangsung, karena hujan masih akan mendera dalam beberapa waktu ke depan. Harga karet pun meningkat akibat berkurangnya persediaan," ujarnya seperti dikutip dari Bloomberg.

Banjir di Negeri Gajah Putih telah berdampak terhadap sekitar 1,6 juta orang. Sekitar 292.540 hektare wilayah perkebunan terhambat dalam hal produksi dan akomodasi.

Menurut Association of Natural Rubber Producing Countries, sebagai eksportir karet terbesar di dunia, Thailand menyuplai sekitar 480.000 ton pada Januari 2016. Jumlah ini akan berkurang 20%-30% pada Januari 2017 akibat kesulitan panen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper