Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menanti Respons Paman Sam

Usai pertemuan para anggota OPEC di Wina, Austria akhir November, harga minyak mentah di pasar menunjukkan adanya peningkatan. Namun, apakah itu hanya sentimen sesaat, ataukah secara fundamental pasar minyak mentah telah ada pembaikan yang ditunjukkan dengan keseimbangan produksi dan permintaan?
Ilustrasi./.
Ilustrasi./.

Usai pertemuan para anggota OPEC di Wina, Austria akhir November, harga minyak mentah di pasar menunjukkan adanya peningkatan. Namun, apakah itu hanya sentimen sesaat, ataukah secara fundamental pasar minyak mentah telah ada pembaikan yang ditunjukkan dengan keseimbangan produksi dan permintaan? 

Dengan adanya kesepakatan pemangkasan produksi minyak mentah menjadi rata-rata 33,25 juta barel per hari (bph) pada tahun depan oleh sejumlah anggota OPEC, maka harapannya akan terjadi perbaikan pada harga minyak mentah pada 2017. 

Sejumlah analis bahkan memperkirakan jika pemangkasan produksi minyak mentah sebanyak 1,2 juta bph tersebut bakal mendongkrak harga hingga menembus lebih dari US$50 per barel secara rata-rata pada tahun depan. 

Namun, terkereknya harga minyak mentah ke level tersebut juga bisa menjadi pemicu pulihnya produksi minyak nonkonvensional (tight oil) di Amerika Serikat. Jika ini yang terjadi, bukan tak mungkin, pemangkasan produksi menjadi hal yang sia-sia, karena ancaman produksi berlebih kembali mengintai. 

Badan Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat (US Energy Information Administration /EIA) pun mengakui ada risiko pulihnya tight oil di AS jika harga minyak melebihi US$50 per barel. 

Dalam Outlook Energi Jangka Pendek (Short-Term Energy Outlook) yang dipublikasikan pada Selasa (6/12/2016) waktu setempat, EIA mengungkapkan selain kesepakatan pemangkasan produksi minyak oleh anggota OPEC, sejumlah produsen minyak non-OPEC kini juga memberikan atensinya untuk menahan atau memangkas produksi.

Rencananya, pada Sabtu (10/12) di Wina Austria, akan ada pertemuan antara OPEC dan non-OPEC untuk mendiskusikan terkait pemangkasan produksi dari negara-negara non-OPEC yang ditargetkan bisa mencapai kesepakatan pemangkasan sebanyak 600.000 bph. 

“Jika kesepakatan [pemangkasan produksi] berkontribusi untuk meningkatkan harga di atas US$50 per barel pada bulan-bulan mendatang, ini akan mendorong kembalinya peningkatan pasokan tight oil AS lebih cepat dari yang diperkirakan,” tulis laporan EIA. 

Berdasarkan laporan itu, harga minyak mentah yang menyentuh level US$50 per barel akan meningkatkan investasi oleh sejumlah produsen minyak AS, khususnya yang beroperasi di cekungan Permian. 

Bahkan, laporan tersebut juga memperkirakan jika harga minyak mentah bisa pulih dengan melebihi US$50 per barel maka akan mendongkrak peningkatan pasokan tight oil AS di wilayah lainnya, tidak hanya di cekungan Permian saja.

Selain itu, jika skenario ini berjalan, maka produsen minyak non-OPEC yang tidak berpartisipasi dalam rencana pemangkasan produksi OPEC, juga bakal meningkatkan pasokannya.

Peningkatan pasokan dari tight oil AS, bukan tidak mungkin bakal terjadi. Apalagi, Presiden Terpilih AS Donald Trump berwacana ingin menerapkan kebijakan kemandirian energi AS dan menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih besar bagi warga AS.

Tak dapat dipungkiri, kembalinya produksi tinggi tight oil yang ditandai dengan banyaknya pengeboran dari lower 48 –negara bagian AS di luar Alaska dan Hawai—bakal menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Meskipun, pengeboran tight oil dan shale gas menggunakan teknik fracking juga tak luput dari perhatian masyarakat AS, khususnya menyangkut keberlangsungan cadangan air sehingga muncul resistensi untuk penolakan.

Namun, hingga saat ini, belum ada kepastian kebijakan seperti apa yang akan diambil Donald Trump terkait produksi minyak mentah dan masyarakat global pun masih menanti hingga sang presiden terpilih dilantik pada Januari 2017.

Hanya saja, berlanjutnya peningkatan pasokan minyak mentah global pada tahun depan, kemungkinan akan menahan sejumlah kesepakatan untuk meningkatkan persediaan (inventory) minyak global hingga 2018. Secara global, pembangunan inventory pada tahun depan secara rata-rata sebanyak 400.000 bph. 

“Kendati produksi minyak mentah baru siap masuk ke pasar ketika inventory minyak global di level tinggi, tetapi data ekonomi global menunjukkan ekspektasi yang lebih positif ketimbang sebelumnya. Peningkatan permintaan minyak mentah akan mendorong pulihnya harga pada kuartal selanjutnya,” tulis laporan itu. 

Laporan EIA memproyeksikan akan adanya pemangkasan produksi minyak mentah AS sepanjang 2017, meskipun hanya 100.000 bph menjadi 8,8 juta bph. Adapun, sepanjang tahun ini, produksi minyak mentah AS diperkirakan mencapai 8,9 juta bph. Padahal pada 2015, produksi minyak mentah AS mencapai 9,4 juta bph. 

Sementara itu, produksi minyak mentah OPEC diperkirakan akan berada di kisaran 33,2 juta bph pada tahun depan.

Selain karena pemangkasan produksi, juga ada sejumlah persoalan seperti pasokan minyak mentah Nigeria yang diproyeksikan akan melemah seiring dengan adanya serangan militan ke infrastruktur minyak.

Tak hanya itu, Libya juga diproyeksikan tidak akan mencapai kesepakatan dalam jangka pendek dengan militan Zintani yang menguasai jaringan pipa dan transportasi minyak mentah dari lapangan besar mereka, termasuk El Sharara dan El Feel.

Kendati demikian, pada November, ada peningkatan produksi --meski tidak signifikan-- yang hampir menyentuh 600.000 bph. 

Pada November, sejumlah lapangan minyak lepas pantai (offshore) di kawasan North Sea Atlantik seperti Inggris dan Norwegia telah kembali dari jadwal rutin pemeliharaan. Akibatnya, produksi kolektif dari North Sea meningkat 100.000 bph pada November. 

EIA memproyeksikan dengan adanya peningkatan produksi di Libya dan kawasan North Sea tersebut, dalam jangka pendek bisa melemahkan harga  minyak Brent jika dibandingkan dengan minyak mentah dari Timur Tengah. 

“Dengan ongkos pengapalan yang relatif lebih murah, lemahnya harga minyak Brent akan membuat minyak mentah yang diproduksi dari cekungan Atlantik lebih kompetitif bagi kilang minyak Asia yang merupakan pasar tradisional dari produsen minyak Timur Tengah,” tulis laporan itu. 

EIA memperkirakan rata-rata harga minyak Brent sepanjang tahun ini akan berada di level US$43 per barel, sedangkan rata-rata harga minyak Brent pada tahun depan diproyeksikan menembus US$52 per barel.

Sementara itu, harga minyak di pasar West Texas Intermediate (WTI) pada tahun depan diperkirakan US$1/per barel lebih rendah ketimbang harga minyak Brent. 

Lantas, akankah Trump bakal memompa lebih banyak tight oil pada tahun depan untuk menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan? Ataukah turut serta mendorong naiknya harga minyak dengan menahan produksi? Kita tunggu saja kiprahnya. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Lukas Hendra TM
Sumber : Bisnis Indonesia (8/12/2016)

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper