Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BUYBACK SAHAM BUMN: Wapres JK Menolak, Masih Perlukah?

Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla tak suka membuat kebijakan moneter yang disukai pelaku pasar, termasuk buyback saham emiten pelat merah.
Buyback saham BUMN dipersoalkan./
Buyback saham BUMN dipersoalkan./

Bisnis.com, JAKARTA--Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla tak suka membuat kebijakan moneter yang disukai pelaku pasar, termasuk buyback saham emiten pelat merah.

Kalla meminta agar pelaku kebijakan tidak terpengaruh oleh strategi perbaikan ekonomi yang hanya melalui elemen moneter. Bahkan, JK menyebut dirinya paling tak suka dengan cara memberikan servis pelaku pasar.

Buyback saham emiten milik negara dinilai hanya akan melayani investor asing agar tidak merugi. Pasalnya, 70% pasar modal Jakarta masih dikuasai oleh investor asing.

Pernyataan Wapres menegaskan isyarat yang digulirkan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Mariani Soemarno akhir Agustus lalu. Saat itu, Rini menuturkan rencana pembelian kembali saham (buyback) berpotensi batal setelah harga saham sejumlah emiten BUMN mulai merangkak naik.

Memang, sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis beleid buyback saham tanpa rapat umum pemegang saham (RUPS) pada 21 Agustus 2015, baru satu BUMN yang mengumumkan rencana buyback.

Emiten BUMN PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk. telah mengumumkan bakal buyback hingga 101,33 juta lembar saham senilai maksimum Rp650 miliar.

Proses buyback dilakukan secara bertahap terhitung sejak 2 September hingga 1 Desember 2015. Pelaksanaan buyback setelah harga saham PTBA melorot 51,92% sejak awal tahun hingga 28 Agustus 2015 mencapai Rp5.950 per lembar dari Rp12.375 per lembar.

Emiten tambang itu merogoh dana untuk buyback dari saldo laba yang belum dicadangkan per 30 Juni 2015 senilai Rp687,63 miliar. Jumlah tersebut akan digunakan untuk buyback maksimum Rp650 miliar.

Namun, hingga Rabu (9/9/2015), kapitalisasi pasar PTBA justru kian melorot 53,6% year-to-date. Pasalnya, manajemen Bukit Asam belum merilis realisasi buyback yang dilakukan perseroan.

Melalui pesan singkat kepada Bisnis.com, Sekretaris Kementerian BUMN Imam Apriyanto Putro, menuturkan rencana buyback murni sebuah aksi korporasi yang telah direstui OJK melalui aturan tanpa melalui RUPS.

"Urusan buyback atau tidak, itu adalah urusan manajemen emiten," ujarnya, Rabu (9/9/2015).

Tidak hanya itu, aksi buyback juga tetap harus dilaporkan kepada OJK melalui keterbukaan informasi masing-masing emiten pelat merah.

Kementerian BUMN juga telah mendorong perusahaan asuransi dan dana pensiun untuk masuk ke pasar modal. Mereka diminta membeli saham BUMN yang dinilai telah cukup rendah dengan price to earning ratio (PER) yang juga rendah.

Bank BUMN yang sebelumnya siap buyback, seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., juga belum mengumumkan secara resmi.

Tak ketinggalan, dua emiten farmasi milik negara, PT Kimia Farma (Persero) Tbk., dan PT Indofarma (Persero) Tbk. Emiten berkode KAEF dan INAF itu juga dipastikan tidak menggelar buyback saham.

Padahal, pemerintah telah menyatakan rencana buyback 13 emiten pelat merah hingga Rp10 triliun. Pernyataan itu sempat menjadi angin segar dan menjadi sentimen positif bagi pasar modal yang tengah terjerembab.

Hingga kini, kapitalisasi pasar enam BUMN tercatat masih melorot lebih dari 50%. Penurunan market capitalization secara berturut-turut terjadi pada INAF (62,55%), PGAS (59,08%), ANTM (53,71%), PTBA (53,6%), KAEF (51,89%), dan TINS (50,82%).

Pada saat yang sama, Indeks harga saham gabungan (IHSG) telah terkoreksi 16,83% year-to-date. Perdagangan Rabu (9/9/2015), IHSG ditutup menguat 0,66% ke level 4.347,28 dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp4.489 triliun.

Analis Universal Broker Indonesia Satrio Utomo menilai buyback saham emiten BUMN tidak diperlukan. Emiten pelat merah lebih baik berkonsentrasi menggenjot kinerja ketimbang menggunakan dana kas untuk buyback saham.

"Buyback tidak penting dan tidak perlu. Yang diperlukan adanya likuiditas yang masuk ke pasar dan harus dilakukan oleh pihak kompeten seperti Dana Pensiun atau BPJS Ketenagakerjaan sebagai player terbesar," paparnya secara terpisah.

Tugas utama emiten, sambungnya, adalah menggenjot kinerja operasional, dan bukan dari investasi saham. Terlebih, tidak semua emiten itu memiliki dana cukup besar untuk membeli kembali saham, lalu disimpan di dalam treasury.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Sukirno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper