Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RUPIAH ANJLOK Dolar Perkasa: Ini Penjelasan Deputi Gubernur Senior BI

Amerika Serikat yang merupakan mesin pertumbuhan dunia bergerak recovery, sedangkan Tiongkok melambat, Eropa masih resesi dan Jepang melambat.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, DENPASAR--Awal bulan ini rupiah sempat menyentuh angka Rp12.900 per dolar AS dan membuat banyak pihak berspekulasi soal penyebabnya.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara membeberkan‎, penyebab menguatnya mata uang dolar AS karena adanya pemulihan ekonomi di negerinya Barack Obama di saat negara lain justru masih melambat.

"Sebenarnya yang terjadi di dunia saat ini adalah ekonomi Amerika Serikat yang merupakan mesin pertumbuhan dunia bergerak recovery, sedangkan Tiongkok melambat, Eropa masih resesi dan Jepang melambat," jelasnya dalam acara serah terima Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Bali, Senin (22/12/2014).

Amerika Serikat (AS) menjadi satu-satunya mesin ekonomi yang mengalami pemulihan, sehingga suku bunga yang sejak 2008 dipertahankan 0,25%, pelan tetapi pasti akan menuju tingkatkan normalnya 3,5% dalam 3 tahun-4 tahun mendatang.

Sehingga, lanjutnya, sangat normal jika kemudian pemodal-pemodal besar yang sebelumnya membawa dana mereka dalam jumlah besar ke negara berkembang akan kembali ke AS.

Inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya pelemahan mata uang negara emerging market seperti Rupee India, Bath Thailand, bahkan Dolar Singapura hingga Yen Jepang.

Khusus Jepang, pelemahan mencapai 15% terhadap dolar AS justru diharapkan oleh pemerintah dengan tujuan ketika mata uang mereka melemah tingkat kunjungan wisatawan ke negara itu naik.

"Jadi kalau Jepang sekarang memberikan bebas visa ke Indonesia, tujuannya agar turis semakin banyak dan mengangkat perekonomian," tuturnya.

Selain faktor perbaikan ekonomi AS, perang antara Rusia dan Ukraina yang kemudian mengakibatkan Rusia dikenakan sanksi ekonomi juga menopang.

Menurutnya, pertempuran di abad modern tidak hanya berkaitan dengan senjata, tetapi ekonomi juga terkena imbas dan salah satunya adalah modal.

Ketika dikenakan sanksi, modal di Rusia lari ke luar, padahal negara yang dipimpin Vladimir Putin ini tidak berwenang mencetak dolar AS, sehingga memaksa menggunakan cadangan devisa senilai US$100 miliar.

Kondisi itu diperparah dengan‎ turunnya harga minyak mentah yang memukul pendapatan negara. Penurunan minyak dipicu oleh tindakan Arab Saudi yang enggan menurunkan suplai produksi, kendati di pasar terjadi over suplai karena menurunnya permintaan.

Hal inilah yang memperparah nilai mata uang Rubel Rusia terjun hingga 50%‎. Sentimen negatif tersebut, jelasnya, sedikit menular ke negara-negara berkembang salah satunya Indonesia.

Mirza meminta pelaku usaha tidak terlalu merisaukan kondisi yang sebenarnya normal terjadi, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga negara lain.

"Gejolak ini sebenarnya terjadi di negara lain juga," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Feri Kristianto
Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper