Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Batasi Institusi Miliki SUN Ritel

Kepemilikan institusi di instrumen surat utang negara untuk ritel akan dibatasi. Caranya, pemerintah akan menerapkan sistem dan aturan yang akan mengontrol transaksi surat utang tersebut di pasar sekunder.
Memantau layar surat utang negara/Bisnis
Memantau layar surat utang negara/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA- Kepemilikan institusi di instrumen surat utang negara untuk ritel akan dibatasi. Caranya, pemerintah akan menerapkan sistem dan aturan yang akan mengontrol transaksi surat utang tersebut di pasar sekunder.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan, sebagian besar kepemilikan surat utang negara untuk ritel, termasuk sukuk, saving bond retail (SBR), dan obligasi negara ritel (ORI) adalah institusi.

Data per 24 November menunjukkan, dari outstanding obligasi ritel senilai Rp104,3 triliun, kepemilikan individu/ritel hanya 29,7%. Adapun, institusi perbankan mendominasi 44,58%, dan sisanya institusi lain. Investor asing tercatat 18,83%. Padahal, instrumen utang tersebut ditujukan untuk investor ritel.

Direktur Surat Utang Negara (SUN) Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan Loto Srinaita Ginting mengatakan pihaknya tengah mengkaji pengembangan infrastruktur/sistem dan aturan yang akan mengontrol transaksi obligasi ritel di pasar sekunder. Misalnya, dengan sistem tersebut porsi ritel di surat utang negara untuk ritel itu akan dijaga sekitar 50%.

Melalui sistem infrastruktur tersebut, akan dilakukan monitoring. Misal, tahun ini instrumen ritel dijaga hingga 50%. Nah, ketika kepemilikan ritel sudah mencapai 50%, kemudian ada transaksi beli yang dilakukan oleh institusi di pasar sekunder, sistem tersebut akan langsung menolak secara otomatis,” jelas Loto saat ditemui di Jakarta, Rabu (26/11/2014).

Meski demikian, pihaknya tidak akan gegabah langsung membatasi hingga 50%. Menurutnya, batasan itu bisa dilakukan secara bertahap, misalnya dimulai dari 40% hingga bisa di atas 50%. Sehingga, kata Loto, surat utang negara untuk ritel ini bisa kembali kepada tujuan awalnya, yakni untuk memenuhi kebutuhan investor ritel.

Ya sebenarnya, karena memang boleh diperdagangkan artinya tidak ada larangan indvidu menjual. Namun, sebenarnya juga kami sudah menerbitkan saving bond retail yang sama sekali tidak diperdagangan, jadi pemilik masih sama dengan awal,” jelasnya.

Loto mengatakan sistem ini akan siap 2015 mendatang. Setelah itu, pihaknya akan segera melakukan penyempurnaan aturan yang setidaknya bisa mengatur mengenai kajian ini. “Sebelumnya tidak ada aturan, bebas mau dijual berapapun. Ke depan akan difasilitasi.”

Untuk melakukan kajian ini, pihaknya sudah bertemu dengan pihak Otoritas Jasa Keuangan dan Self Regulatory Organization (SRO). Sistem yang akan digunakan adalah sistem electronic trading platform, yang sedang disiapkan oleh otoritas seiring dengan program pendalaman pasar surat utang.

Analis PT BCA Securities Herdi Ranu Wibowo mengatakan rencana pemerintah untuk membatasi kepemilikann intitusi pada instrumen ritel itu cukup positif. Hanya saja, pemerintah harus bisa mengantisipasi dampaknya, yakni menurunnya likuiditas. Pasalnya, selama ini ramainya obligasi ritel di pasar sekunder lantaran aktifnya investor institusi bertransaksi.

Nanti pasti akan ada pengaruh likuditas. Tetapi, kalau sesuai tujuan, itu masuk akal, obligasi ritel itu untuk individu,” kata Herdi kepada Bisnis, Rabu (26/11).

Meski demikian, dia berharap pemerintah bisa menerapkan pembatasan tersebut secara bertahap. Misalnya, dari porsi yang tidak terlalu besar, kemudian bisa meningkat bila likuditas sudah stabil kembali.

Kajian tersebut, kata Herdi, bisa memberikan kesempatan pada investor ritel untuk memanfaatkan instrumen obligasi ini. Saat ini, jumlah investor ritel memang belum banyak, tetapi ke depan bertambahnya jumlah investor ritel bisa memperbesar kepemilikan ritel pada obligasi ritel itu sendiri.

Langkah pemerintah bagus, mengembalikan tujuan awal. Namun, harus benar-benar secara bertahap karena kalau langsung, penawaran persana di awal bisa tidak laku nanti.”

BACA JUGA

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Riendy Astria
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper